Sabtu, 08 November 2014

on HIATUS

Hallo for anyone who read this blog !

I apologize that I have to tell you that this blog will be on hiatus for a while due to certain reasons. Please don't ask the reason, I'm afraid I can't answer it :P
However, I still quote something or reblog everything I think interesting in my secondary blog www.jurnalramadhan.tumblr.com.
If you have any suggestion on anything, feel free to reach me via ramadhan.journal@gmail.com or asking button in my tumblr.

Thank you very much for reading my blog.
May you have a happy life :)

Sincerely,

Gama Ramadhan


Read More..

Senin, 18 Agustus 2014

Mengapa skeptis?

(sumber: aidwatchers.com)
Dalam dunia penelitian, kita memiliki satu metode yang merupakan salah satu dari metode paling kuat yang pernah diciptakan manusia dan kita menyebutnya sebagai double-blind, randomized placebo-controlled study. Pertanyaan pertama yang perlu diajukan kemudian adalah mengapa kita perlu suatu metode yang kuat? Saya mengira-ngira seperti ini jawabannya, ketika manusia mempelajari suatu fenomena, memberikan suatu intervensi atas suatu keadaan dan mengamati akibat dari sebab yang diberikan, akan muncul pertanyaan: bagaimana kita bisa memastikan bahwa ‘sebab’ yang diberikan benar menyebabkan ‘akibat’ yang muncul? Lebih lanjut lagi, apakah ‘akibat’ yang sama akan muncul kembali pada kondisi yang sama di waktu yang berbeda atau kondisi yang berbeda di waktu yang sama, dan seterusnya? Lebih dalam lagi, apakah hanya karena ‘sebab’ yang diberikan saja, suatu ‘akibat’ tersebut muncul dan tidak disebabkan ‘penyebab’ lain? Dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang mungkin ada. Pertanyaan-pertanyaan ini memicu serangkaian uji-coba, trial and error, yang kemudian diharapkan memunculkan kesimpulan yang paling mendekati keadaan yang sebenar-benarnya terjadi.

Double-blind, randomized placebo-controlled study dirancang untuk memungkinkan mengeliminasi berbagai faktor dan kondisi yang tidak semestinya dan memungkinkan peneliti untuk mengambil kesimpulan yang paling tepat, mendekati keadaan yang sebenar-benarnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kita telaah satu persatu dari nama metode ini sendiri. Istilah placebo-controlled berarti bahwa penelitian ini menggunakan minimal dua kelompok uji: satu kelompok uji diberikan agen (obat) yang sedang diteliti; kelompok uji lainnya diberikan plasebo, suatu bahan/sediaan yang mirip secara pemerian dengan agen (obat) tetapi tidak mempunya efek apapun atau bisa kita sebut obat bohongan. Randomized berarti baik obat uji maupun plasebo diberikan secara acak kepada subjek uji. Double blind dimaksudkan bahwa baik peneliti/investigator maupun subjek uji tidak mengetahui siapa dapat yang mana. Ada orang ketiga yang mengatur, mengacak, dan mencatat kepada siapa, obat atau placebo diberikan. Akan tetapi orang ketiga ini tidak ikut serta dalam analisis penelitian. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengeliminasi bias hasil penelitian yang mungkin disebabkan oleh sugesti subjek uji (placebo effect) maupun subjektivitas peneliti (observer bias) dan subjek uji (Rosenthal effect).

Oleh karena kekuatannya dalam mengeliminasi berbagai bias yang mungkin timbul, metode ini biasa digunakan dalam uji klinis (clinical trial) untuk mengetahui efektivitas suatu agen (obat) dalam memberikan efek atas klaim/hasil yang ditujukan pada manusia (misalnya, mengetahui efek anti nyeri suatu obat A). FDA mensyaratkan dua kali uji ini sebelum suatu obat baru diizinkan beredar. Suatu metode yang luarbiasa walaupun tidak mudah untuk dilakukan. Bila kita membaca paper yang menggunakan metode ini, kita hampir bisa mengambil kesimpulan bahwa hasil penelitian atau kesimpulan yang diambil metode ini berkualitas premium ataupun mendekati 100% kebenarannya.

Sayangnya, meskipun metode ini sangat kuat, hal tersebut tidak menjadikannya serta-merta membuat suatu hasil penelitian berkualitas premium atau sudah pasti benar kesimpulannya. Saya selalu teringat pertanyaan salah seorang dosen di almamater ketika sedang membaca-baca suatu paper, “Apa yang pertama kali perlu kita lihat,” tanya beliau, “untuk mengetahui kualitas suatu paper?” Kami, sewaktu itu, tidak ada yang berhasil menjawab dengan tepat hingga akhirnya beliau yang menjawab sendiri, “Untuk tahu kualitas suatu paper,” lanjut beliau, “hal yang pertama kali dilihat adalah sampel yang digunakan.” Bahkan metode sekuat double-blind, randomized placebo-controlled trial sekalipun bisa menghasilkan hasil yang tidak tepat atau kesimpulan yang melenceng bila sedari awal, sampel yang digunakan keliru. Sebagai contoh (walau agak dramatis), kita ingin melihat efek obat M terhadap penyakit Malaria yang disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum. Akan menghasilkan kesimpulan yang keliru, bila sampel subjek penelitian yang digunakan terjangkit Malaria yang ternyata hampir 80% disebabkan oleh parasit Plasmodium vivax. Contoh lainnya, kita bisa saja mengambil jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga efek obat M terhadap penyakit Malaria yang disebabkan oleh P. falciparum tidak signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo. Hal ini tidak berarti obat M tidak memiliki efek melawan P. falciparum, tetapi butuh jumlah sampel yang lebih besar untuk dapat mendeteksi efektifitas obat M.

Kembali ke judul
Skeptis bisa jadi kata yang terlalu keras, mungkin kita bisa memperhalusnya menjadi suatu tindakan kehati-hatian, berhati-hati atas apa-apa yang kita terima dan peroleh dari hamburan informasi yang berselayaran di sekitar kita. Dalam membaca suatu paper penelitian pun, kehati-hatian diperlukan untuk mengevaluasi apakah hasil penelitian yang kita baca kuat dan valid sehingga bisa dijadikan landasan. Kita kemudian akan menilai, membaca, menggali lebih banyak lagi dari referensi-referensi yang lain untuk membangun kesimpulan yang kita susun. Perilaku yang sama secara prinsipil diperlukan oleh semua orang di dunia ini, tanpa memandang latar belakang pekerjaan atau pendidikan. Hal ini akan membuat kita lebih mengerti bahwa bias informasi bisa terjadi dimana saja, pada posisi apa saja, dan oleh siapa saja, apalagi pada dunia yang kompleks dimana kita tidak bisa mengontrol arus yang masuk ke dalam kepala kita; sekaligus membuat kita lebih rendah hati dalam mengklaim sesuatu atas pengetahuan kita yang tidak seberapa atasnya. Kebenaran bisa jadi subjektif, bervariasi, atau lebih dari satu, dan kita memiliki kemampuan untuk memilah dan memilihnya. Di atas pilihan itu sendiri, lebih penting rasanya untuk memilih dengan cara yang paling baik.


Read More..

Sabtu, 28 Juni 2014

Summer Tsukuba #6: Farewell Party

Don't be dismayed at good-byes. A farewell is necessary before we can meet again and meeting again, after moments or a lifetime, is certain for those who are friends. (Unknown)

Mendekati seminggu akhir di Tsukuba menjadi puncak-puncak kesibukan seiring dengan target yang senantiasa dikejar. Setiap akhir pekan, saya mengirimkan laporan pekanan ke Aoki sensei di Jakarta atas kemajuan yang telah dicapai. Hingga pekan terakhir, saya telah berhasil mengisolasi 5 senyawa bahan alam, walaupun tidak semuanya memiliki tingkat kemurnian yang tinggi, dari sejumlah fraksi sampel tanaman yang dibawa ke Tsukuba. Mendekati pekan akhir juga diwarnai dengan kemas-kemas oleh-oleh yang hendak dibawa ke Jakarta :)

Di pekan terakhir Juli, kami, semua anggota lab, mengadakan pesta perpisahan untuk kami bertiga (saya, mba Lidya, dan ka Tia) yang akan segera kembali ke Indonesia. Pesta diadakan setelah maghrib, sesudah kami berbuka, di atas atap lab yang pada sore harinya sudah dihiasi lampion dan pernak-perniknya, meja-meja panjang untuk makan bersama serta semacam panggangan. Berbagai makanan disediakan, mulai dari ikan hingga daging sapi. Oleh karena semua anggota lab tahu kami hanya memakan daging halal, khusus untuk kami pun dibelikan daging yang berlabel halal. Kalo untuk ikan dan lainnya, Alhamdulillah tidak ada yang meragukan. Minuman pun disediakan berbagai jus, walaupun beberapa anggota lab juga menikmati minuman keras seperti anggur atau bir kaleng. Turut hadir pula Kawahara sensei yang merupakan direktur NIBIO tempat lab kami berada.

farewell party di atap lab. Kampai !
Saya pikir sudah menjadi tradisi orang Jepang untuk memberikan hadiah-hadiah kecil (omiyage) kepada orang lain, terutama sebagai tanda terimakasih ataupun perpisahan. Saya pun pada hari-hari sebelumnya sempat menyiapkan omiyage untuk para anggota lab. Banyak kenangan, kesan, hal-hal yang sangat patut untuk saya syukuri Ramadhan tahun 2013 ini. Saya tidak pernah tahu apakah akan ada kesempatan lagi menginjakkan kaki di tanah matahari terbit dan berjumpa dengan mereka lagi atau tidak. Di antara berbagai dinamika, naik dan turunnya hidup kita, saya pikir selalu ada waktu-waktu di mana senyum mengembang dan hati yang ringan bersuka ria. Kenangan musim panas di tahun 2013 adalah salah satunya. ‘Ala kulli hal, Alhamdulillah. :)



Read More..

Summer Tsukuba #5: Puasa !

A 15 hours fasting !

Ada yang lebih spesial kali ini dari sekedar kunjungan kedua ke Jepang, ini kali pertama saya menjalankan tigaperempat bulan Ramadhan di negeri orang, ini kali pertama saya berpuasa selama sekitar 15 jam. Berpuasa di negeri dengan penduduk mayoritas nonmuslim sebenarnya bukan suatu masalah, apalagi jika mereka juga mengerti hal yang sedang kita lakukan. Jika ada hal yang berbeda dari hari biasa adalah bahwa saya absen dari makan siang bersama anggota lab lainnya. Karena memang sedang berpuasa, maka saat istirahat saya isi dengan kembali melanjutkan pekerjaan di lab. Satu hal lagi yang sangat berbeda tentu saja tidak ada pasar kaget penjual kolak pisang, pacar cina, atau kue-kue basah di kanan kiri jalan atau orang-orang yang menghabiskan waktu menunggu maghrib seperti di Indonesia.

Meskipun belum memasuki puncak musim panas di bulan Agustus, matahari bersinar lebih lama dari pada musim lainnya. Di sini, kita sudah memasuki waktu subuh di sekitar jam 3 pagi dan menjemput waktu maghrib di sekitar jam setengah 7. Durasi puasa memang berkisar 15 jam, terlihat berat apalagi di musim panas, tetapi jika dijalani ternyata biasa saja. Apalagi jika kamu menghabiskan lebih dari setengah waktu kamu di lab. Menjalani puasa di sini, Alhamdulillah, banyak diberi kemudahan karena pihak asrama TBIC pun menfasilitasi bagi para penghuni muslim, makanan untuk sahur. Pada malam sebelumnya, mereka yang berpuasa akan mengisi semacam borang yang berisikan menu untuk sahur. Variasi menunya tidak banyak, tetapi jenisnya cukup lengkap dari nasi/roti/cornflake, ada lauknya berupa ayam, serta minuman sari buah ataupun susu. Mas Andi, sebagai ketua komunitas WNI di TBIC, pun berhasil melobi pihak TBIC untuk menyediakan ruangan shalat yang lebih luas di lantai 2 selama bulan Ramadhan. Cukup kiranya memuat belasan muslim yang hendak bertarawih bersama di TBIC. Tarawih pun menjadi hal yang sangat berkesan di Ramadhan tahun 2013, karena inilah pertama kalinya saya berjamaah dengan muslim dari berbagai belahan dunia, dari Asia hingga Afrika, baik berkulit hitam maupun bule. Imam tarawih biasa dipimpin oleh seorang saudara Muslim dari Mesir yang bersuara merdu setiap kali membaca ayat-ayat Qur’an. Selain itu, setiap hari kami bergantian menyediakan ta’jil untuk berbuka bersama, sekedar sirup dan kurma yang dinikmati bersama-sama.

Di Tsukuba terdapat satu masjid yang biasa dijadikan semua komunitas muslim dari berbagai benua yang tinggal di Tsukuba untuk shalat jum’at berjamaah. Kamu jangan membayangkan sebuah masjid dengan kubah di tengah dan tiang-tiang penyangga berwarna putih atau lainnya. Masjid Tsukuba merupakan rumah (saya kurang tahu apakah hanya menyewa atau sudah dibeli) yang cukup besar dan memiliki 3 ruangan utama: ruang shalat pria, ruang shalat wanita, dan ruang untuk pengurus masjid. Di sampingnya terdapat semacam toko yang menjual macam-macam pangan halal. Meskipun demikian, di sini merupakan pusat komunitas muslim Tsukuba berkumpul, bercengkrama, dan saling berbagi persaudaraan, cinta, serta keimanan. Sepertinya sudah menjadi tradisi untuk melaksanakan buka puasa bersama setiap akhir pekan di sini. Biasanya pelaksana buka puasa dibagi per komunitas Muslim, misalnya pada minggu pertama dilaksanakan oleh komunitas muslim dari Timur Tengah yang menyediakan nasi biryani atau minggu kedua dilaksanakan oleh komunitas muslim dari Indonesia-Malaysia yang kali ini menyediakan menu ayam kecap, capcai, lumpia, hingga brownies kukus. Perjalanan dari TBIC menuju masjid sekitar satu jam yang ditempuh dengan naik sepeda. Seperti biasa, saya ke sana bersama Mas Andi dan Mas Suryo.

Masjid Tsukuba

Buka puasa bersama minggu pertama dengan menu utama nasi biryani

Buka bersama minggu kedua disiapkan oleh komunitas muslim Indonesia dan Malaysia. Saya pun ikut bantu-bantu mempersiapkannya :))
Alhamdulillah, Ramadhan tahun 2013 memang jadi Ramadhan yang demikian istimewa, bukan karena dijalani di negeri orang, melainkan betapa gembiranya bersua dengan saudara-saudara Muslim dari berbagai negara. Menjadi minoritas di negara lain memang membuat rasa persaudaraan dan kedekatan hati menjadi begitu terasa, tetapi bukan tentang itu, bukan hanya itu, Allah sedemikian baiknya mendekatkan hati-hati sesama muslim, memperingankan langkah-langkah kaki bersilaturahim serta tangan kita bersalaman, dan mulut kita yang tersungging senyum seraya berucap salam. Semoga Allah memberkahi tiap jumpa dan salam kita, semoga Allah merahmati tiap silaturahim yang senantiasa dihubungkan. Allahu yubarik fiikum




Read More..

Summer Tsukuba #4: Festival !

There is no summer, without a festival !

Saya kira musim panas adalah musim perayaan di banyak negara. Meskipun cuaca memanas, tak ada yang benar-benar menghalangi keceriaan musim panas. Dan mengunjungi sebuah festival musim panas adalah hal menyenangkan bagi siapa saja. Di Jepang, sejauh yang saya tahu, ada beberapa festival yang diadakan saat musim panas tiba, seperti Festival Tanabata, Festival Hanabi, Festival Obon ataupun Bon-Odori, dan berbagai festival lokal di daerah. Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk mengunjungi tiga festival yang diadakan di Tokyo di bulan Juli, yaitu Festival Iriya-Asagao, Festival Tanabata, dan Festival Hanabi.

Festival Iriya-Asagao
Iriya-asagao atau morning glory flower merupakan bunga yang sangat familiar bagi warga Jepang. Bunga ini mudah dipelihara dan merawatnya sering dijadikan tugas musim panas bagi sekolah anak-anak di Jepang. Festival Iriya-Asagao diadakan setiap tahun pada minggu awal Juli di jalan Kototoi-dori, Iriya, Tokyo. Festival ini dicirikan dengan begitu banyaknya stand penjual bunga morning glory, serta tentu saja stand jajanan yang selalu ada di sisi-sisi jalan.

Festival Iriya-Asagao dengan bunga Asagao biru memesona
Hari minggu, 7 Juli, saya berangkat dari TBIC menuju Tsukuba center dengan ka Tia dan mba Lidya menggunakan Tsukubus yang melewati tempat pemberhentian bus Koyodai. Sesampainya di Tsukuba center, kami melanjutkan perjalanan dengan kereta Tsukuba express hingga stasiun Asakusa. Di sini kami kemudian bergabung bersama beberapa anggota lab NIBIO, Kawakami-san yang mengikutsertakan suaminya dan Matsubara-san yang mengajak temannya yang ternyata dapat berbahasa Indonesia dengan lumayan baik. Merekalah yang menjadi pemandu festival kami hari itu. Festival Tanabata sebenarnya merupakan tujuan utama kunjungan ke Tokyo kali ini, namun karena pada hari yang sama terdapat Festival Iriya-Asagao pula maka kami pergi ke festival ini terlebih dahulu. Jarak antara jalan Kototoi-dori, tempat Festival Iriya-Asagao berlangsung, dengan jalan Kappabashi, lokasi Festival Tanabata digelar mendukung rencana jalan-jalan kali ini. Dan oleh karena kami masih berada di daerah Asakusa, maka kurang lengkap rasanya bila tidak berkunjung ke Kuil Sansoji terlebih dahulu.

Kuil Sansoji yang berada di Asukasa ini merupakan salah satu tujuan wisata yang menarik. Kamu bisa ikut mencoba melihat peruntungan di masa depan di sini ;)

Festival Tanabata
Tanabata dilaksanakan untuk merayakan pertemuan cinta antara sepasang suami-istri dewa-dewi langit, Orihime dan Hikoboshi, yang hanya dapat berjumpa satu tahun sekali pada tanggal 7 bulan ke 7. Agak mengenaskan sih, hanya bisa bertemu sehari dalam setahun, tapi kira-kira demikian sebagai hukuman dari langit qkarena terlalu asyik dengan dunia mereka sendiri setelah menikah sehingga melupakan tugas kelangitan mereka. Festival Tanabata memang diadakan setiap tahun pada (umumnya) tanggal 7 Juli di berbagai daerah di Jepang. Pada festival tanabata, setiap orang akan menuliskan harapan/cita-cita mereka pada sepotong kertas warna-warni (tanzaku) dan menggantungkan pada pohon bambu. Festival Tanabata tahun ini diadakan di sepanjang jalan Kappabashi, dengan berbagai untaian ornamen dan pernak-pernik warna-warni yang sangat menarik. Ketika memasuki jalan Kappabashi, kita akan disambut oleh fukinagasi, ornamen berbentuk bola pada pangkalnya dengan banyak pita menjuntai berwarna-warni, yang seakan menari bila terhembus angin.

Fukinagasi di sepanjang jalan Kappabashi memeriahkan keceriaan festival
Hari itu adalah hari yang sangat cerah, menambah semarak dan gairah orang-orang dalam berfestival. Kita akan melihat banyak orang yang memakai yukata warna warni, baik laki-laki maupun wanita. Di sepanjang jalan juga banyak pohon bambu tempat orang-orang menggantungkan tanzaku atau orizuru (kertas lipat berbentuk bangau), atau hiasan lain yang berbentuk segitiga atau lingkaran yang dipasang berkaitan satu sama lain hingga menjuntai beberapa sentimeter. Semakin ke tengah, kita akan melihat berbagai atraksi seperti tarian atau permainan yang saya tidak mengerti cara bermainnya, hahaa.

Festival Tanabata dan semarak kemeriahannya
Hal yang disayangkan, Fuchino sensei tidak dapat bergabung bersama kami hari itu, sehingga sebagai gantinya, beliau menitipkan uang untuk mentraktir kami unagi, makanan yang berisikan belut panggang yang disiram saus tertentu dan diletakkan di atas nasi. Satu kata untuk makanan ini: oishii !

Sebelum bersantap unagi. Dari kiri-kanan: Matsubara san, ka Tia, Saya, Kawakami-san dan suami, teman dari Matsubara-san. (Terimakasih untuk mba Lidya yang menjadi juru foto)

Festival Hanabi
Hanabi
dalam Bahasa Indonesia berarti kembang api, ya, Festival Hanabi adalah festival kembang api yang biasa diadakan setiap akhir Juli di berbagai daerah di Jepang. Hari itu sabtu, 27 Juli kami berangkat dari TBIC sekitar siang hari dengan cuaca cukup panas di bulan puasa. Seperti biasa, rombongan hari itu adalah saya, mas Andi, mas Dafi, mas Suryo, ka Tia, ka Nani berangkat menggunakan sepeda menuju TBIC. Di sana kami bergabung dengan mba Krisna dan mba Ria. Sama seperti pada Festival Hanabi, kami menggunakan kereta Tsukuba Express menuju Asukasa, di mana atraksi kembang api akan berlangsung di atas sungai Sumida yang melintas di samping menara Tokyo SkyTree. Atraksi dimulai sekitar pukul enam sore, sedangkan sekitar setengah lima kami sudah sampai di stasiun Asakusa. Kami menyempatkan diri untuk berjalan di sepanjang pasar tradisional di depan Kuil Sansoji yang sudah mulai pada dipenuhi pengunjung sekaligus memikirkan titik-titik di mana akan melihat atraksi kembang api yang bagus.

Suasana sore hari di daerah Kuil Sansoji sebelum atraksi kembang api dimulai
Saat sampai di Kuil Sansoji, kami terpisah menjadi dua grup karena padatnya manusia yang mulai memenuhi daerah di sekitar Kuil Sansoji dan sungai Sumida. Saya bersama grup mas Andi, kang Dafi, dan mba Krisna memutuskan untuk mencari tempat melihat kembang api di sekitar sungai Sumida. Berhubung hari itu sudah bulan puasa, setelah mendapatkan tempat yang cukup baik dan sudah membawa bekal untuk berbuka, kami memutuskan untuk membeli beberapa minuman dan kentang rebus yang ternyata besar sekali bagi saya untuk menghabiskannya, hahaa. Atraksi kembang api dimulai beberapa menit setelah kami berbuka.

Rona-rona kembang api di atas sungai Sumida. Aslinya jauh lebih dramatis dan spektakular
Bagaimanapun juga ternyata takdir berkata lain, sekitar pukul tujuh malam, hujan lebat mengguyur daerah Asukasu sehingga atraksi kembang api hanya berlangsung sekitar satu jam serta atraksi-atraksi utama belum sempat diluncurkan. Kami sempat berteduh dahulu di depan sebuah toko hingga hujan reda. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang agar tidak terlalu larut sampai di TBIC, walaupun mas Andi dan kang Dafi sempat mentraktir saya sushi seharga 300 yen lebih/potong, hohohoo. Berdasarkan pengamatan sok tahu, saya membagi tiga tingkat restoran sushi. Pertama yang menyajikan sushi seharga sekitar 100 yen. Biasanya potongan daging ikan sushi tersebut tidak dipotong segar ketika pengunjung memesan. Seperti jika makan di warteg, kita memilih sushi yang hendak dimakan dan langsung disajikan kepada kita. Restoran tipe kedua adalah yang menyajikan sushi seharga sekitar 300 yen ke atas. Potongan daging ikan akan dipotong segar saat kita memesan menu yang diinginkan. Sehingga kita harus menunggu dulu beberapa lama hingga pesanan sampai ke meja untuk siap dimakan. Restoran tipe ketiga adalah yang menyajikan sushi seharga lebih dari 1000 yen. Ini adalah restoran kelas atas yang tidak pernah saya bayangkan untuk masuk ke dalamnya. Menurut kabar yang beredar, pengunjung akan memilih sendiri ikan hidup yang akan dijadikan sushi. Weew…

Mampir-mampir sejenak sebelum kembali ke Tsukuba
Sampai kembali di stasiun Tsukuba sekitar pukul 9 malam. Kami mengambil sepeda yang diparkir di salah satu swalayan di dekat Tsukuba center dan bergerak menuju TBIC dalam dengan diiringi lampu sepeda. Sekitar pukul 11 malam kami sudah masuk ke kamar masing-masing. Oleh karena azan subuh sekitar pukul 3 pagi, maka saya memutuskan untuk terjaga hingga selesai shalat subuh. Setelahnya menuntaskan waktu tidur yang kurang di hari minggu :)




Read More..

Jumat, 27 Juni 2014

Summer Tsukuba #3: NIBIO Tsukuba

Research is what I'm doing when I don't know what I'm doing. (Wernher von Braun)

Pelatihan sekaligus bekerja adalah alasan utama saya mendapat kesempatan kembali mengunjungi Jepang. Seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan pertama, sebagian besar hari-hari saya di sini dihabiskan di sebuah institusi penelitian bernama NIBIO atau National Institute of Biomedical Inovation. NIBIO sendiri memiliki beberapa fasilitas riset di berbagai daerah di Jepang dengan pusatnya yang berada di Osaka. Di Tsukuba terdapat dua fasilitas riset NIBIO, yaitu Tsukuba Primate Research Center dan tempat saya ‘ngelab’, Research Center for Medicinal Plant Resources. Apa yang saya kerjakan di sini? Secara sederhana, saya mencari senyawa kimia bahan alam dari suatu spesies tanaman yang memiliki aktivitas anti hepatitis C. Kurang lebih, di sini saya mempelajari teknik-teknik yang biasa dilakukan oleh para peneliti di NIBIO dalam mengisolasi senyawa kimia bahan alam.

Dengan Takewaki-san, tetangga seberang meja kerja. Takewaki adalah mahasiswa farmasi Tokyo University of Science dan sedang menyelesaikan riset tugas akhirnya di NIBIO
Setiap pagi saya, mba Lidya, dan ka Tia berangkat dari TBIC menuju NIBIO bersama dengan para penghuni TBIC lainnya dengan bus yang disediakan oleh JICA. Penghuni TBIC berasal dari beragam negara dengan tujuan tinggal di sana biasanya karena mendapat beasiswa S2/S3 atau pelatihan dari JICA. Setiap pagi senin hingga jumat, kami selalu disediakan dua bus besar dengan rute yang berbeda untuk mengantar para penghuni TBIC ke lokasi aktivitasnya masing-masing. Perjalanan bisa lebih ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit dengan melewati berbagai institusi riset yang berada di Tsukuba. Begitu sampai, kami mengganti sepatu luar dengan sepatu lab, naik ke lantai dua (tempat lab kami berada), masuk ke ruang staf lab dan mengucapkan selamat pagi ohayou gozaimasu ! kepada setiap orang, terutama pada sensei kami. Selanjutnya masuk ke dalam lab dan mulai bekerja di bench masing-masing.

NIBIO, tempat lab saya berada, merupakan area yang cukup luas. Terdapat berbagai macam ladang tempat tanaman obat ditanam untuk dipanen. Koleksi herbariumnya juga banyak, menyimpan tanaman obat dari berbagai daerah di dunia, termasuk Indonesia. Terdapat dua gedung utama yang saya jelajahi untuk bekerja, satu gedung di mana saya menghabiskan sebagian besar waktu penelitian di sana (tempat saya berfoto dengan Takewaki-san di atas) dan satu gedung di mana berbagai instrumen analisis kimia berada. Di gedung yang saya sebut terakhir, biasa saya kunjungi untuk mendapatkan data spektrum NMR dari senyawa kimia yang saya dapat.

Orang-orang di lab ini sangat ramah dan menyenangkan. Sensei saya, Fuchino sensei, adalah orang yang humoris dan terkadang suka ‘jahil’ dengan anggota labnya. Bila jam makan siang tiba, beliau akan meminta semua anggota lab untuk menghentikan pekerjaannya dan makan siang bersama di ruang staf. Sudah menjadi budaya di sini untuk membawa bekal (bento) masing-masing. Oleh karena, lokasi lab yang jauh dari tempat makan ataupun combini (convenient store), maka saya biasanya membawa bento yang disisihkan dari jatah makan pagi di TBIC. Beberapa kali, sensei membawa banyak tomat atau semangka untuk dimakan bersama saat makan siang. Dan pertama kalinyalah saya mencoba memakan semangka yang ditaburi garam dahulu sebelumnya. Dan ternyata, lezat juga :3

Beberapa anggota lab natural product di NIBIO. Berdiri (dari kiri-kanan): mba Lidya, Mikiko-san, *yang berjas lab putih, saya lupa namanya, gomennasai :(*, Miyanaga-san, *ibu ini juga saya lupa namanya,sumimasen deshita*, Kumigay-san. Duduk (dari kiri-kanan): Kawakami-san, Fuchino sensei, Kawahara sensei, Takewaki-san, Matsubara-san. (dok. oleh ka Tia)  
Ah ya, satu budaya lagi yang biasa dilakukan di sini, terutama bila telah selesai bekerja atau pamit akan pulang, berucap otsukaresamadesu :)




Read More..

Kamis, 26 Juni 2014

Summer Tsukuba #2: Trip to Oarai Beach

The journey of life is like a man riding a bicycle. We know he got on the bicycle and started to move. We know that at some point he will stop and get off. We know that if he stops moving and does not get off he will fall off. (William Golding)

Menuju akhir pekan pertama di Tsukuba, saya sudah berkenalan dengan beberapa orang Indonesia dan Malaysia yang sudah menjadi penghuni TBIC sebelum kedatangan saya, termasuk mba Lidya dan ka Tia yang satu lab nantinya dengan saya. Di sini, Alat transportasi andalan kami adalah sepeda TBIC yang bisa dipinjam hingga pukul 21.00. Berhubung transportasi umum yang ada hanyalah bus Tsukubus dengan rute terbatas atau taksi yang sudah pasti mahal, dan tentu saja tidak ada angkot apalagi ojek, walhasil kemanapun pergi, sepeda adalah moda transportasi pilihan, terkecuali bila pergi ke lokasi kerja yang disediakan bus oleh TBIC. Rute bersepeda pertama saya adalah menuju Mall Aeon yang bisa ditempuh dalam 10 menit dari TBIC dengan melewati rumah penduduk, hamparan sawah di kiri kanan jalan, kolong jalan layang tol, bahkan kompleks pemakaman x)

Rencana menghabiskan akhir pekan pertama ini adalah dengan perjalanan ke pantai Oarai bersama beberapa teman baru mahasiswa Universitas Tsukuba. Perjalanan dimulai dengan bersepeda di pagi hari bersama mas Suryo, ka Tia, dan ka Nani menuju Tsukuba Center sejauh sekitar 7,5 km. Sesampainya di sana, kami beristirahat di samping kolam ikan besar dan kemudian menuju titik pertemuan di depan Koban (pos polisi). Dari sini, kami bergabung bersama kang Deni, mba Dian, pak Harsono, dan mba Ria.

Di Tsukuba center, burung hantu adalah lambang kota Tsukuba.
Setelah berkenalan sebentar, memastikan anggota perjalanan lengkap dan sepeda nyaman digunakan, kami bergerak menuju stasiun Tsuchiura yang ditempuh sejauh 10 km.

perjalanan bersepeda menuju stasiun Tsuchiura
Setelah perjalanan memegalkan paha dan betis, kami akhirnya tiba di stasiun Tsuchiura. Saya pertama kalinya menggunakan parkiran sepeda berbayar sejumlah 100 yen di sini. Ban depan sepeda diletakkan ke semacam alat penguncinya, kemudian untuk membuka kuncinya, kita harus memasukkan uang sejumlah 100 yen ke alat penerima uang dan menekan nomor alat parkir sepeda kita.

Parkir sepeda berbayar dengan kunci otomatis di samping Sta. Tsuchiura
Di stasiun Tsuchiura, kami bertemu satu anggota perjalanan terakhir dan paling penting (karena membawa logistik makan siang XD), yaitu teh Windi. Dari sini, kami berangkat menuju stasiun Mito terlebih dahulu untuk mencapai stasiun Oarai.

di Sta. Tsuchiura
Hal menarik dari kereta yang membawa kami dari stasiun Mito menuju stasiun Oarai adalah tidak seperti perjalanan kereta yang pernah saya coba, di rute ini tiket dibayarkan di dalam kereta. Masinis kereta akan memintakan uang tiket satu persatu dari penumpang.

Masinis yang sedang memintakan uang tiket ke penumpang. *Saya ambil secara diam-diam* :p
Dan akhirnya kami tiba di stasiun Oarai

Di depan stasiun Oarai. (dari kiri ke kanan: ka Tya, ka Ria, teh Windi, Pak Harsono, kang Deni, saya, ka Nani,dan ka Dian. Terimakasih untuk mas Suryo sebagai fotografer)
Untuk sampai ke pantai Oarai, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 2 km dengan berjalan kaki.

masih melanjutkan dengan perjalanan kaki menuju pantai Oarai
Sebelum masuk ke daerah pantai, kami mencari lokasi untuk makan siang. Menu pembuka disediakan dan diproses kemudian secara ‘adat’ :P. Selanjutnya, kami berjalan sedikit dari lokasi makan siang, dan bermain-main di pantai yang ternyata tidak begitu ramai. Hal menarik yang dilakukan di sini adalah memberi makan burung camar dengan ikan-ikan kecil, karena kebetulan saat kami tiba, ada beberapa orang Jepang yang sedang memberi makan burung camar.

di Pantai Oarai
Puas bermain di pantai, selanjutnya adalah menikmati menu utama, soto asli khas Indonesia yang telah disiapkan bahan-bahan nya oleh teh Windi. Ittadakimasu ! :D

Ittadakimasu !



Read More..