Sabtu, 17 Desember 2011

Ruang mimpi

“Orang kecil seperti kita, jika tidak punya mimpi maka akan mati boi” (Arai dalam Sang Pemimpi)

Saya pernah bercerita kepadamu tentang mimpi masa lampau, kenangan yang tersimpan dalam kantung-kantung memori yang tersebar di segala penjuru otak. Ada romantisme masa kecil, di mana kita dahulu duduk dan bermain, menikmati sinar matahari dan semilir angin di bawah naungan pohon rindang, melihat alang-alang menari dalam irama hembusan angin. Saya pernah berkisah kepadamu, bahwa angin berbisik lembut saat itu, melayangkan mimpi dan cita kita ke awan yang berarak tenang dalam formasi tiga-tiga. Dan kawan, masihkah engkau dapat mengingat mimpi masa itu, kemudian berani merenggutnya dari angan-angan yang terlelap ?

Mimpi yang mana?
Setiap kita bermimpi, paling tidak berangan dalam lamunan-lamunan di waktu siang atau dalam kejadian-kejadian dalam kepala saat kita terlelap. Ada mimpi yang mengalir masuk ke dalam alam bawah sadar kita, mengisi kekosongan di sudut angan-angan kita. Mimpi yang begitu nyaman, logis, begitu nyata, sampai-sampai kita bisa melihatnya di depan kita. Harapan, cita, impian, atau apapun anda ingin menyebutnya, dan kita sama-sama tahu, mimpi yang seperti ini, mengambil energi harapan kita, menggunakan sumber daya yang kita miliki. Dan kita selalu berharap, mimpi-mimpi ini bisa memeluk erat takdir yang menjadikannya nyata.

Mimpi dan saya kegagalan
Tidak semuanya memeluk takdir, seakan kesempatan menjadi begitu terbatas di depan kita. Pintu-pintu kesempatan menjadi begitu tertutup dan kita dihadapkan pada keputusan yang sulit. Ya, kita bermimpi dan kita juga pernah, mungkin sering, bertemu kegagalan di tengahnya. Bahkan kita sudah melihat kegagalan sebelum melangkah untuk mengambilnya, kita kalah bahkan sebelum berperang. Kita dan begitu banyak kegagalan yang sering dilihat, membatasi mimpi kita, menyadarkan kita bahwa kita tak akan pernah sanggup, bahwa hal yang realistis adalah hal yang aman. Kita mulai tidak berani melangkah ke luar lingkaran, kita membatasi mimpi dan ya, kita melupakan romantisme mimpi masa kecil.

Mimpi dan saya cibiran
“Berhentilah mengolokku, agar kau tidak menangis saat aku melenggang anggun di atas mu kelak”

Saya pemimpi dan mereka menyebut saya orang yang tidak pernah realistis. Tapi pemimpi yang sebenarnya tidak membiarkan mimpi mereka hanya berada di ranjang tempat tidur mereka atau melayang di sekitar angan-angan siang hari. Saya memiliki mimpi dan mereka menyebut saya mengada-ada. Mungkinkah orang kecil memang tak pernah diizinkan untuk menjadi besar. Mungkin lingkungan kita tak pernah mengizinkan kita melewati batas yang ditetapkan. Orang rata-rata tidak pernah mengizinkan orang lain lebih dari rata-rata. Dan memang saya pantas dicibir, ketika saya hanya duduk diam memangku tangan dan mulai berangan yang lain lagi. Dan cibiran bukankah hanya sebuah pengingatan bahwa ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk memeluk mimpi. Dan percayalah ketika mereka mengatakan tidak mungkin, tidak akan ada orang yang benar-benar bisa menghentikan kita, tidak satu jua pun, tidak ada kecuali diri kita sendiri.

Memberi ruang mimpi
“Latihan dengan hal yang tersulit bukanlah selalu berarti baik. Karena ketika kita mulai kelelahan, kita akan menurunkan target pencapaian, kita mulai tidak memberikan ruang pada mimpi.”

Bagaimana perbandingan antara keberhasilan dan kegagalan yang anda alami sampai saat ini ? Kita mulai menurunkan target, kita semua usaha menjadi begitu percuma, ketika semua ikhtiar begitu terasa sia-sia. Seiring dengan pertambahanan usia, kita menjadi begitu banyak melihat kegagalan di sekitar kita, menimpa orang-orang terdekat kita, juga menimpa diri kita sendiri. Kita mulai takut memeluk masa depan yang tidak pasti dan tergugu aman dalam lingkaran yang kita buat sendiri.

Mimpi itu harus direncanakan kawan, menjadikannya begitu realistis seakan kita dapat memeluknya sekarang juga. Dalam setiap rencana yang kita buat dalam kehidupan ini, kita mungkin perlu memberikan ruang untuk mimpi agar menjaga cahaya harapan tetap menyala hangat. Bukan menjadi naïf atau terjebak dalam utopia, tetapi kita mungkin memang perlu memberikan ruang untuk mimpi, agar menjadikan diri kita yakin akan adanya penghidupan yang lebih baik, agar menjadikan kita percaya bahwa dari semua kekurangan yang ada, selalu ada kesempatan untuk memperoleh hal yang lebih baik. Kita perlu memberikan ruang bagi mimpi, tidak terlalu besar agar tidak menjadikan kita terlelap di dalamnya, tidak terlalu kecil agar tidak mati dan meninggalkan kita dalam kekhawatiran, sebuah ruang yang cukup dalam kehidupan kita, agar nanti saat kita terlelah, kita dapat berhenti sejenak, melihat kembali ruang mimpi, mengisi energi perjuangan, dan kemudian berlari lagi.

Dan saya tahu kamu masih mengingatnya, saat kita menari bersama angin yang mengelus lembut kepala kita. Angin yang sama yang berbisik di telinga-telinga kita, “Tumbuhlah besar, berjiwa besar dan lihatlah segala sesuatunya dengan bijak. Maka engkau akan melihat bahwa hidup ini begitu adil.”




6 komentar:

  1. really like this :'D terima kasih kak Gama :)

    BalasHapus
  2. Gama,, boleh request artikel tentang hepatitis B... udahnyari di Om Google,,, tapi pengen ada penjelasan lain hee...

    BalasHapus
  3. hmmm... apanya dari hepatitis B ?
    hehe :D

    BalasHapus
  4. Ringkasannya lah... kurang lebih dua minggu yang lalu bapakku dinyatakan positif hepatitis B.liat-liat di google kayaknya parah banget,,, maksudnya apa separah itukah? ex; ngak bakal sembuh seumur hidup...

    BalasHapus
  5. innnalillahi,
    semoga diberi yang terbaik oleh Allah..

    mohon doanya semoga diberi kesempatan untuk bisa menulis

    BalasHapus