Rabu, 18 Juli 2012

The Followership

Great leaders will not guarantee an optimal organization, but great followers will come close (Todd Nielsen).

Sebuah sesi inspirational sharing dengan CEO General Electric Indonesia, Pak Handry Satriago, membuat saya me-review kembali peran pemain-pemain utama dalam sebuah organisasi, which is its leader and followers. Kita sering mendengarnya, bahkan sudah banyak buku-buku yang membahas mengenai leadership, bagaimana anda menjadi pemimpin yang berpengaruh atau seni-seni memimpin dan mempengaruhi orang lain. Mungkin anda juga pernah mengikuti latihan-latihan kepemimpinan dari yang wajib anda ikuti ketika masuk ke sebuah organisasi hingga leadership training yang berharga jutaan rupiah. Yes, all of us are really familiar with term of leadership, yet not about followership.

Being a leader promises many great advantages, oleh karenanya posisi ini begitu diinginkan oleh kita semua. Dan bagaimana sebagian besar dari kita memandang posisi pengikut atau anak buah? Posisi tidak penting yang bekerja manut-manut mengikuti arahan pemimpin dan tidak perlu ‘macam-macam’. Banyak dari kita memandang posisi pengikut adalah posisi yang tidak penting, tidak prestige dan ‘cukup tahu’ saja. Padahal peran leader and follower selalu ada berdampingan. Dalam hirarki sebuah perusahaan saja, seorang supervisor adalah leader bagi stafnya dan follower bagi middle manager. Demikian pula dengan middle manager yang merupakan seorang follower bagi top manager dan seterusnya. Indeed, we are a follower in the very beginning.

Sekarang sudah banyak disadari betapa strategisnya peran pengikut dalam sebuah organisasi. Kehadiran pemimpin yang luar biasa memang merupakan hal yang tidak tergantikan, tetapi tanpa kehadiran pengikut yang baik tidak akan pernah ada kesuksesan yang berarti dalam suatu organisasi. Berbicara mengenai kuantitas saja, tentu lebih banyak jumlah pengikut dibanding jumlah pemimpin dalam suatu organisasi. Ingat Tahun 1998? Turunnya Presiden Soeharto adalah contoh nyata betapa besar potensi pengikut (rakyat dalam kasus 1998 ini) dalam mempengaruhi tatanan organisasi hingga mampu menurunkan pemimpinnya. Kita sekarang melihat dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang followers, di mana ternyata kesuksesan suatu organisasi yang dibawa oleh seorang pemimpin amat dipengaruhi oleh kualitas pengikut dan bukannya kualitas pemimpin itu sendiri.

Setiap pemimpin terbaik selalu memulai dari tingkat pengikut, paling tidak mereka pasti mengikuti atau terinspirasi pada gaya-gaya kepemimpinan orang lain. Karenannya seorang pengikut yang baik akan dengan mudah berubah menjadi seorang pemimpin yang baik. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah seperti apa pengikut yang baik. Saya tidak persis tahu, tetapi jika mengutip pendapat Pak Handry Satriago, a good follower adalah pengikut yang tidak manut-manut saja melainkan pengikut yang mau memberi pendapat/masukan bahkan berani berseberang pendapat dengan pemimpinnya demi kemajuan organisasi. Mereka memberikan feedback kepada pemimpinnya dan bersama-sama memperbaiki kinerja organisasi.

Ada sebuah contoh menarik, suatu ketika sebuah perusahaan farmasi multinasional memilih seorang CEO barunya yang tidak berlatar belakang farmasi, melainkan dari bidang marketing. CEO baru ini, dengan segala keahliannya, ingin mengeluarkan produk baru yang berpotensi besar untuk dipasarkan secara global, maka bertanyalah ia kepada para scientist-nya. Pada waktu itu ada satu produk obat anti inflamasi yang telah disetujui oleh FDA. CEO ini bertanya apakah obat ini berpotensi besar untuk dipasarkan dan yes, jawab para scientist-nya. Maka dengan segala jurus-jurus marketing-nya, CEO ini berhasil memasarkan produk obat anti inflamasi ini dengan baik. Hanya saja, lama-kelamaan muncul semakin banyak komplain konsumen akibat efek sampingnya sehingga produk obat ini harus dikaji ulang keamanannya. Hal yang mengejutkan adalah ternyata para scientist perusahaan tersebut sudah mengetahui akan potensi efek samping obat ini. Apa intinya? pengikut yang hanya menjadi yes man dan ikut begitu saja apa permintaan pemimpin ternyata tidaklah terlalu bagus. Para pengikut perlu ikut paham visi dan misi dari suatu organisasi dan bersama pemimpinnya membangun organisasi. Tentu ada bedanya dengan para pengeritik, a great follower mengambil inisiatif, belajar, dan ikut terlibat aktif dalam seluruh aktivitas organisasi serta memberikan kinerja terbaik mereka.

at last but not least, I love the quote from Pak Handry Satriago which is said, “a good leader won’t bring any successes to the organization without good followers, otherwise a bad leader won’t do bad things with good followers”.



Read More..

Senin, 09 Juli 2012

Dilema Kemandirian Obat Indonesia

Berbicara mengenai kesehatan manusia, maka kita membicarakan masa depan suatu komunitas atau bahkan suatu bangsa. Kesehatan adalah aspek pendukung utama keberlangsungan suatu bangsa. Generasi yang berkualitas tidak akan bisa dihasilkan tanpa dukungan faktor kesehatan yang memadai. Anda bisa membayangkan betapa mudahnya wabah penyakit menghancurkan suatu bangsa. Kita melihat betapa virus AIDS melumatkan negara-negara di Benua Afrika atau wabah malaria yang menyerang negara-negara di Asia Tenggara sehingga memakan banyak korban nyawa. Sebuah kehilangan besar bagi suatu bangsa ketika para penerus mereka harus menjadi korban dari suatu wabah penyakit. Kesehatan boleh dibilang merupakan faktor pendukung utama kemajuan suatu bangsa. Tanpanya, kita tidak akan bisa berbicara mengenai pendidikan tinggi atau teknologi maju ataupun mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki suatu bangsa.

Berbicara mengenai faktor pendukung kesehatan suatu bangsa, maka berbagai aspek dapat diulas di dalamnya. Paling tidak saya melihat tiga hal yang menjadi pendukung utama kesehatan suatu bangsa: kualitas tenaga kesehatan, sistem kesehatan dan aplikasinya serta obat dan ketersediaanya di masyarakat. Dua pertama tidak akan saya bahas di esai ini, saya hanya akan membahas mengenai obat dan bagaimana kemandirian akan ketersediaan obat sangat penting bagi masa depan suatu bangsa. Seperti pendapat umum bahwa obat, baik obat regular maupun tradisional, menjadi tumpuan pertama penyembuhan suatu penyakit. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat kita saat ini memiliki ketergantungan dengan suatu tablet atau kapsul dibandingkan dengan gaya hidup sehat. Di zaman saat semua orang mengingkan hal-hal yang instan, obat merupakan jawaban terbaik untuk mengatasi kondisi tidak menyenangkan yang kemudian kita sebut sebagai sakit. Dari sini anda dapat melihat bahwa kebutuhan obat yang akan sulit surut di masyarakat menjadikannya pasar yang sangat potensial. Mengendalikan pasar obat bisa jadi mengendalikan tingkat kesehatan masyarakat atau bahkan pembangunan suatu bangsa.

Berbicara mengenai Indonesia, di sini pemerintah mencoba mengendalikan harga obat melalui program obat generik. Namun, ini hanyalah solusi yang menyembuhkan gejala, bukan sumber penyakitnya. Harga obat yang mahal menjadi penyebab utama mahalnya biaya kesehatan di sini. Mengapa harga obat dapat menjadi mahal? Biaya produksi obat menjadi salah satu penyebabnya. Ya, hingga saat ini bahan baku obat Indonesia (baik bahan aktif maupun bahan tambahan) hampir 96% diimpor dari luar negeri. Dengan demikian, harga obat sangat terpengaruh dari nilai mata uang kita dibandingkan dengan mata uang asing serta kondisi dari negara yang mengekspor bahan baku obat tersebut. Di satu sisi, kita ingin agar harga obat dapat ditekan, di sisi lain para pelaku usaha (industri farmasi) harus memperhitungkan keberlanjutan usahanya.

Sesungguhnya berbicara mengenai ketersediaan obat di masyarakat merupakan hal yang tidak sederhana. Obat boleh jadi tersedia di pasaran namun bila masyarakat tidak mampu membelinya, maka hal tersebut menjadi percuma saja. Tuntutan ditekannya harga obat juga tidak sesederhana yang terlihat, industri farmasi juga harus mengimbangi antara ongkos produksi dan laba yang didapat. Sama saja jika harga obat tidak dapat menutupi ongkos produksi, maka obat pun tidak bisa diproduksi. Produksi bahan baku obat dalam negeri bisa merupakan suatu solusi juga. Tetapi selama efisiensi produksi bahan baku dalam negeri tidak sebaik produksi luar negeri, maka harga bahan baku produksi dalam negeri dapat lebih mahal daripada produksi luar negeri. Lagi-lagi, ini persoalan investasi ke industri bahan baku obat nasional. Jika teknologinya ingin dikembangkan maka investasi dalam jumlah besar harus dilakukan.

Bagi saya pribadi, produksi bahan baku dalam negeri harus segera dilakukan, meskipun masih belum sempurna. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada impor bahan baku obat dari luar negeri. Komitmen besar harus dimiliki oleh setiap stakeholder untuk menciptakan industri bahan baku obat nasional.


Read More..