Senin, 18 Agustus 2014

Mengapa skeptis?

(sumber: aidwatchers.com)
Dalam dunia penelitian, kita memiliki satu metode yang merupakan salah satu dari metode paling kuat yang pernah diciptakan manusia dan kita menyebutnya sebagai double-blind, randomized placebo-controlled study. Pertanyaan pertama yang perlu diajukan kemudian adalah mengapa kita perlu suatu metode yang kuat? Saya mengira-ngira seperti ini jawabannya, ketika manusia mempelajari suatu fenomena, memberikan suatu intervensi atas suatu keadaan dan mengamati akibat dari sebab yang diberikan, akan muncul pertanyaan: bagaimana kita bisa memastikan bahwa ‘sebab’ yang diberikan benar menyebabkan ‘akibat’ yang muncul? Lebih lanjut lagi, apakah ‘akibat’ yang sama akan muncul kembali pada kondisi yang sama di waktu yang berbeda atau kondisi yang berbeda di waktu yang sama, dan seterusnya? Lebih dalam lagi, apakah hanya karena ‘sebab’ yang diberikan saja, suatu ‘akibat’ tersebut muncul dan tidak disebabkan ‘penyebab’ lain? Dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang mungkin ada. Pertanyaan-pertanyaan ini memicu serangkaian uji-coba, trial and error, yang kemudian diharapkan memunculkan kesimpulan yang paling mendekati keadaan yang sebenar-benarnya terjadi.

Double-blind, randomized placebo-controlled study dirancang untuk memungkinkan mengeliminasi berbagai faktor dan kondisi yang tidak semestinya dan memungkinkan peneliti untuk mengambil kesimpulan yang paling tepat, mendekati keadaan yang sebenar-benarnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kita telaah satu persatu dari nama metode ini sendiri. Istilah placebo-controlled berarti bahwa penelitian ini menggunakan minimal dua kelompok uji: satu kelompok uji diberikan agen (obat) yang sedang diteliti; kelompok uji lainnya diberikan plasebo, suatu bahan/sediaan yang mirip secara pemerian dengan agen (obat) tetapi tidak mempunya efek apapun atau bisa kita sebut obat bohongan. Randomized berarti baik obat uji maupun plasebo diberikan secara acak kepada subjek uji. Double blind dimaksudkan bahwa baik peneliti/investigator maupun subjek uji tidak mengetahui siapa dapat yang mana. Ada orang ketiga yang mengatur, mengacak, dan mencatat kepada siapa, obat atau placebo diberikan. Akan tetapi orang ketiga ini tidak ikut serta dalam analisis penelitian. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengeliminasi bias hasil penelitian yang mungkin disebabkan oleh sugesti subjek uji (placebo effect) maupun subjektivitas peneliti (observer bias) dan subjek uji (Rosenthal effect).

Oleh karena kekuatannya dalam mengeliminasi berbagai bias yang mungkin timbul, metode ini biasa digunakan dalam uji klinis (clinical trial) untuk mengetahui efektivitas suatu agen (obat) dalam memberikan efek atas klaim/hasil yang ditujukan pada manusia (misalnya, mengetahui efek anti nyeri suatu obat A). FDA mensyaratkan dua kali uji ini sebelum suatu obat baru diizinkan beredar. Suatu metode yang luarbiasa walaupun tidak mudah untuk dilakukan. Bila kita membaca paper yang menggunakan metode ini, kita hampir bisa mengambil kesimpulan bahwa hasil penelitian atau kesimpulan yang diambil metode ini berkualitas premium ataupun mendekati 100% kebenarannya.

Sayangnya, meskipun metode ini sangat kuat, hal tersebut tidak menjadikannya serta-merta membuat suatu hasil penelitian berkualitas premium atau sudah pasti benar kesimpulannya. Saya selalu teringat pertanyaan salah seorang dosen di almamater ketika sedang membaca-baca suatu paper, “Apa yang pertama kali perlu kita lihat,” tanya beliau, “untuk mengetahui kualitas suatu paper?” Kami, sewaktu itu, tidak ada yang berhasil menjawab dengan tepat hingga akhirnya beliau yang menjawab sendiri, “Untuk tahu kualitas suatu paper,” lanjut beliau, “hal yang pertama kali dilihat adalah sampel yang digunakan.” Bahkan metode sekuat double-blind, randomized placebo-controlled trial sekalipun bisa menghasilkan hasil yang tidak tepat atau kesimpulan yang melenceng bila sedari awal, sampel yang digunakan keliru. Sebagai contoh (walau agak dramatis), kita ingin melihat efek obat M terhadap penyakit Malaria yang disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum. Akan menghasilkan kesimpulan yang keliru, bila sampel subjek penelitian yang digunakan terjangkit Malaria yang ternyata hampir 80% disebabkan oleh parasit Plasmodium vivax. Contoh lainnya, kita bisa saja mengambil jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga efek obat M terhadap penyakit Malaria yang disebabkan oleh P. falciparum tidak signifikan secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo. Hal ini tidak berarti obat M tidak memiliki efek melawan P. falciparum, tetapi butuh jumlah sampel yang lebih besar untuk dapat mendeteksi efektifitas obat M.

Kembali ke judul
Skeptis bisa jadi kata yang terlalu keras, mungkin kita bisa memperhalusnya menjadi suatu tindakan kehati-hatian, berhati-hati atas apa-apa yang kita terima dan peroleh dari hamburan informasi yang berselayaran di sekitar kita. Dalam membaca suatu paper penelitian pun, kehati-hatian diperlukan untuk mengevaluasi apakah hasil penelitian yang kita baca kuat dan valid sehingga bisa dijadikan landasan. Kita kemudian akan menilai, membaca, menggali lebih banyak lagi dari referensi-referensi yang lain untuk membangun kesimpulan yang kita susun. Perilaku yang sama secara prinsipil diperlukan oleh semua orang di dunia ini, tanpa memandang latar belakang pekerjaan atau pendidikan. Hal ini akan membuat kita lebih mengerti bahwa bias informasi bisa terjadi dimana saja, pada posisi apa saja, dan oleh siapa saja, apalagi pada dunia yang kompleks dimana kita tidak bisa mengontrol arus yang masuk ke dalam kepala kita; sekaligus membuat kita lebih rendah hati dalam mengklaim sesuatu atas pengetahuan kita yang tidak seberapa atasnya. Kebenaran bisa jadi subjektif, bervariasi, atau lebih dari satu, dan kita memiliki kemampuan untuk memilah dan memilihnya. Di atas pilihan itu sendiri, lebih penting rasanya untuk memilih dengan cara yang paling baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar