Kamis, 29 November 2012

Termakna Subhanallah dan Masya Allah

(sumber gambar: proumedia.com)

Nampaknya terdapat pergeseran pemaknaan ungkapan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Berikut sedikit uraiannya dari ust. Salim A. Fillah,

Ada dua hal yang mengikatnya, tuntunan Qur’an-Sunnah dan kebiasaan dalam bahasa Arab. Al Qur’an menuturkan bahwa subhanallah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal yang tidak pantas. “Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dsb”, Ayat-ayat berkomposisi seperti ini sangatlah banyak. Selain itu, subhanallah juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikan semacam syirik (Qs. Saba: 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita (Qs. Yusuf: 108), dan sebagainya.

Bukankah ada juga pe-Mahasuci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al Qur’an menuturnya dengan kata ganti kedua (Qs. Ali Imran: 191) atau kata ganti ketiga yang tak langsung menyebut Asma Allah (Qs. Al Israa: 1). Ia juga terpakai pada me-Mahasuci-kan Allah dalam menyaksikan bencana dan mengakui kezaliman diri (Qs. Al Qalam: 29) serta menolak fitnah keji yang menimpa saudara (Qs. An-Nuur: 16).

“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila berjalan turun membaca tasbih.” (HR. Bukhari, dari Jabir). Pada hadist ini “subhanallah” diletakkan dalam makna ‘turun’ dan bukannya ‘naik’. Sesuai dengan kebiasaan orang dalam bahasa Arab, secara umum subhanallah digunakan untuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah swt dilekatkan padanya. Kesimpulannya, zikir tasbih secara umum adalah utama sebab ia adalah zikir semua mahluk dan tertempat di waktu utama pagi dan petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari membiasakannya sebagai pe-Mahasuci-an Allah atas hal yang memang tak pantas bagi keagungan-Nya.

Bagaimana dengan masya Allah? Qs. Al Kahfi ayat 39 memberikan kita contoh; ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah, berupa kebun subur menghijau jelang panen, anak-anak yang ceria menggemaskan dan harta yang banyak. Kalimat lengkapnya, Masya Allah la quwwata illa billaah; pada kalimat kedua menegaskan lagi: tiada kemampuan mewujudkan selain atas pertolongan Allah. Pun demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab, mereka mengucapkan masya Allah pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan. Simpulannya, masya Allah adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah, dan memang hal indah itu dicinta dan dikehendaki oleh Allah.

Demi ketepatan makna keagungan-Nya dan menghindari kesalahpahaman, mari membiasakan mengucap “subhanallah” dan “masya Allah” seperti seharusnya. Membiasakan bertutur sesuai makna pada bahasa asli, insya Allah lebih tepat dan bermakna. Tercontoh orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang dimaki. Misalnya dengan kalimat, “Allaahu yahdik!” Arti harfiahnya, “Semoga Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui bahwa makna kiasan dari “Allaahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!” Jadi, mari belajar tanpa henti dan tak usah memaki.

(disarikan dari Menyimak Kicau Merajut Makna oleh Salim A. Fillah)



Read More..

Minggu, 11 November 2012

Cinta Merah Saga

(sumber gambar: fineartamerica.com)
Topik ini sepertinya tidak ada habisnya, Cinta. Menderas bagai air bah, mengalun lembut seringan angin sore, menggelora senyala api, menguatkan setabah bumi. Cinta, seribu penulis telah membahas topik ini pada seribu cerita, kisah, catatan, bahkan darah-darah yang mengalir atas nama cinta. Cinta, kamu dan aku membahasnya tak jemu jua, seringkali berulang hingga terpatri di ingatan kata sakti tentangnya. Selalu saja ada cita rasa baru, ada sudut pandang baru, ada kisah baru setiap kali mengulangnya, melafadzkannya lembut dalam setiap perasaan insan.

Maka biarlah aku, kali ini, membahasnya untukku dan untukmu.

Cinta harusnya pertemuan jiwa-jiwa, persambungan pikiran-pikiran, perangkulan ego-ego. Di dalamnya setiap insan memahami bahwa beda tidak perlu menjadi sengketa. Karena beda bisa jadi penambal lubang-lubang kelemahan, jika tidak, maka memahamkan dan memaafkan sudahlah cukup. Tidak ada insan sempurna yang lepas dari kesalahan.

Cinta seharusnya menumbuh-mengembangkan segala potensi yang ada. Para pecinta sejati tidak mengungkung yang dicintainya atas nama kepemilikan. Maka cinta menjadi penyalanya, pemantik setiap potensi diri, memanusiakan manusia, menjadi manusia yang sebaik-baiknya manusia, insan kamil. Maka setiap pembelajarannya adalah cinta, dan bersama-sama kita belajar menjadi lebih baik. Para pecinta sejati tidak membiarkan yang dicintainya terjebak dalam kenaifan ‘menjadi diri sendiri’. Kesempatan menjadi pribadi yang lebih baik selalu ada, ‘menjadi diri sendiri’ jika itu berarti tidak mengambil kesempatan untuk menjadi diri yang lebih baik tidaklah berguna. Karena cinta menumbuh-mengembangkan potensi diri, dia bersama bertumbuh dan berkembang dalam jiwa-jiwa para pecinta pembelajar yang senantiasa mengasah diri, menjadi lebih baik.

Cinta adalah tentang pekerjaan memberi, maka hanya orang-orang kuat dan memiliki yang bisa mencintai. Cinta adalah pekerjaan orang-orang kuat, konsisten memberi bukanlah hal ringan yang bisa dilakukan sepanjang hayat. Para pecinta bukan berarti tidak menerima, bisa jadi suatu keniscayaan, tetapi hal itu hanyalah suatu akibat. Fokus para pecinta sejati adalah memberi, dengan segala daya menumbuh-kembangkan yang dicintai. ”Para pecinta sejati tidak suka berjanji,” tulis Anis Matta, “tetapi begitu mereka memutuskan untuk mencintai seseorang, mereka segera membuat rencana memberi. Janji menerbitkan harapan, tetapi pemberian melahirkan kepercayaan.” Maka menjadi seorang ibu adalah pekerjaan perempuan-perempuan kuat sepanjang zaman, bukan pekerjaan sampingan para wanita karir. Cinta mereka adalah tentang memberi segala daya, menumbuh-mengembangkan, merawat, dan melindungi. Oleh karenanya bagi seorang laki-laki kewajiban terhadap ibu lebih didahulukan dari kewajiban kepada istri.

Cinta seharusnya memuliakan, cinta memuliakan para pecinta dan bukan merendahkannya. Sebaik-baiknya laki-laki adalah yang paling memuliakan perempuan. Maka laki-laki yang mengumbar janji cinta atas perempuan, namun tidak menikahinya adalah omong kosong besar. Cinta itu memuliakan, maka pernikahan memuliakan laki-laki dan perempuan dalam naungan cinta. Para pecinta sejati tak mengumbar janji, begitu mereka memutuskan untuk mencinta, mereka memilih jalan kesunyian untuk bekerja mewujudkan rencana memberi. Mereka bersiap diri hingga sampai waktunya tiba dan cinta akan menyambutnya dalam keberkahan dan naungan cinta ilahi.

Cinta berbicara tentang keberanian jua pengorbanan. Dari Ali, pemuda cerdas yang disebut sebagai pintu ilmunya Rasulullah, kita belajar. Adalah Fatimah, seorang gadis yang memunculkan debaran dalam jiwa pemuda Ali . Sudah dua sahabat utama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, yang ditolak pinangannya. Dia merelakan dua kali, ketika sahabat utama Rasulullah hendak melamar Fatimah. “Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” Sahabat-sahabat Anshar menyemangatinya, “kami merasa engkaulah yang baginda maksud.” Maka Ali mengambil satu dari dua pilihan cinta, keberanian. Sangat memalukan meminta Fatimah menunggu hingga dirinya siap dan menikahinya. Tidak bagi Ali, maka cinta adalah tentang mengambil kesempatan yang ini keberanian atau merelakan yang ini pengorbanan. “Ahlan wasahlan,” jawab Rasulullah dan Ali mendapat tidak hanya satu (ahlan) tetapi bahkan dua (wasahlan) yang berarti persetujuan. Dan dari keberanian cinta lahirlah energi besar tanggung jawab. Dan kita semua tahu, Ali tidak memulai pernikahannya dari nol, tetapi minus. Dengan rumah yang tadinya hendak dihadiahkan oleh sahabat-sahabatnya, tetapi Rasulullah memintanya untuk mencicil dan ini berarti hutang. Di jalan para pecinta sejati, cinta bertemu dengan tanggung jawab. Ali memperlihatkannya kepada kita, energi besar tanggung jawab lahir dari cinta dan kita bisa menengok rumah tangga surgawi dari sepasang Ali-Fatimah.

Cinta itu merah saga, menggerakan jiwa-jiwa untuk berbuat, menggelorakan semangat-semangat untuk bekerja. Maka cinta adalah energi jiwa, menghimpunkan segala daya, menyalakan gairah dalam rasa. Cinta bukanlah merah jambu, lenye-lenye, melemahkan jiwa dengan angan panjang, memanjakan rasa dengan senang semu. Cinta itu merah saga, sekencang angin membadai, sederas banjir menerjang, bergelora bak api menyala-nyala. Tapi kemudian ia menjadi tenang, sehangat dekapan ibu, selembut semilir angin, seteguh pijakan bumi. Maka cinta adalah sebuah kata kerja, membangun peradaban manusia, meninggikannya hingga menggapai surga.

Ada dua pilihan ketika bertemu cinta,
jatuh cinta dan bangun cinta
Padamu aku memilih yang kedua
Agar cinta kita menjadi istana,
tinggi menggapai surga
(Salim A. Fillah)


___
Beberapa inspirasi tentang cinta:
Anis Matta. Serial cinta.
Salim A. Fillah. Jalan cinta para pejuang.


Read More..

Minggu, 04 November 2012

The Ulysses Contract

(sumber gambar: bywayofbeauty.com)
Ulysses atau juga dikenal dengan nama Odysseus dalam mitologi Yunani merupakan salah satu dari tiga penasihat Raja Ithaca. Ulysses adalah seorang ahli strategi dan merupakan tokoh utama dibalik kemenangan Perang Trojan. Strateginya menggunakan bangunan kayu yang berbentuk kuda untuk memasukkan tentara Yunani ke dalam benteng kerajaan Troy membuahkan kemenangan yang gemilang dan tercatat dalam berbagai naskah. Setelah berhasil memenangkan Perang Trojan yang menyejarah tersebut, Ulysses berlayar kembali ke kampung halaman di Pulau Ithaca. Di tengah perjalanan, Ulysses tersadar dia akan melawati Pulau Sirenum scopuli, tempat sesosok mahluk mitologi yunani bernama Siren hidup. Siren dikisahkan merupakan seekor putri duyung atau wanita yang memiliki sayap seperti burung yang memiliki suara merdu, memikat siapa saja yang mendengarnya. Setiap pelaut yang tanpa sengaja mendengar nyanyiannya akan terhanyut dengan godaan yang demikian kuat untuk datang menuju Siren dan menghempaskan kapal mereka ke karang mematikan di sekeliling pulau, menenggelamkan semua orang di kapal. Semua pelaut yang tahu trik mematikan ini, akan menutup kuping mereka dengan segala cara agar tidak mendengar nyanyian Siren. Namun, bagi Ulysses ini merupakan kesempatan langka untuk mendengarkan nyanyian Siren. Mengetahui akibat yang diterimanya jika mendengar nanyian Siren, Ulysses membuat sebuah rencana. Dia sadar bahwa dirinya akan menjadi gila saat mendengar nyanyian tersebut dan akan memerintahkan awak kapal untuk menuju karang. Maka, Ulysses memerintahkan awaknya untuk mengikatnya di tiang kapal dan tidak mengindahkan perintahnya saat melewati Pulau Sirenum scopuli. Dia membuat perintah dengan jelas untuk tidak mendengarkannya dan melepaskan ikatannya hingga mereka telah melewati Pulau. Awaknya sendiri diperintahkan untuk menutupi telinga mereka dengan lilin (beeswax) sehingga mereka tidak akan mendengar nyanyian Siren. Ulysses mengikat dirinya di masa depan (saat mendengar nyanyian Siren) dengan perjanjian (antara ia dengan awaknya) di masa sekarang (sebelum melewati pulau).

Keputusan hari ini yang mengikat kita di masa yang akan datang ini dikenal sebagai Ulysses contract, perjanjian Ulysses. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat sebagai kontrak kerja atau perjanjian-perjanjian yang kita buat dengan orang lain yang akan berkaitan langsung dengan kita. Tetapi sadar atau tidak, kita sehari-hari sering membuat perjanjian Ulysses, bukan kepada orang lain melainkan kepada diri kita sendiri. Bayangkan anda sedang menjalani diet ketat untuk mengurangi berat badan. Akan tetapi, sebuah kue coklat nikmat nan menggoda disajikan kepada anda secara gratis. Apa yang terjadi pada diri anda? Sebuah pertarungan di otak. Di satu sisi otak anda berkata anda sedang dalam diet ketat dan jangan memakannya, namun di sisi lainnya otak anda menginginkannya, sebuah kue coklat nikmat nan menggoda dan gratis! Kebanyakan dari kita akan bernegosiasi dengan ‘diri kita yang lainnya’. “Kamu akan memakan kue ini, namun kamu harus berjanji untuk pergi ke gym besok!” Ya kita telah membuat perjanjian dengan diri kita sendiri.

Selalu ada dua sisi atau lebih dari satu diri kita. Ada yang bilang sebagai sisi baik-buruk atau rasional-emosional, dan lain sebagainya. Salah satu pendekatan terhadap perilaku berpikir manusia adalah pikiran kita merupakan sebuah sistem multi-partai dimana setiap partai di dalamnya dapat saling bertolak belakang ataupun berfungsi tumpang-tindih. Ketika memikirkan suatu keputusan yang akan diambil, otak kita membuat berbagai simulasi-simulasi konsekuensi akan keputusan-keputusan yang ada dan ini memunculkan debat di dalam otak kita mengenai keputusan yang terbaik yang akan diambil. Inilah salah satu yang kemudian membuat kecerdasan manusia menjadi sangat istimewa. Kecerdasan kita memikirkan solusi-solusi dalam jumlah yang tidak terbatas sehingga memungkinkan kita untuk melakukan suatu hal dengan cara yang berbeda. Kecerdasan kita bukanlah memikirkan satu cara terbaik untuk memecahkan suatu masalah, namun membuat beragam solusi sehingga kita bisa memecahkan suatu masalah dengan cara yang paling efektif dan efisien. Pendekatan multi-partai ini menjelaskan mengapa ada manusia yang tetap dapat berpikir atau berfungsi dengan baik walau setelah mengalami kerusakan otak. Sistem multi-partai memungkinkan fungsi otak yang hilang karena kerusakan tersebut diambil alih oleh bagian otak lainnya. Hal ini menjadikan kecerdasan kita sangat tangguh.

Kembali ke perjanjian Ulysses, ungkapan ini sering dipakai dalam dunia medis terutama pada kasus-kasus penyakit mental, misal skizofrenia. Saat pasien dalam keadaan normal, pihak medis akan membuat kontrak dengan pasien untuk disetujui diberikan penanganan medis ketika kekambuhan (relaps) terjadi di masa datang. Bisa kita bayangkan untuk pasien skizofrenia, ketika terjadi relaps, pasien akan sulit untuk mengambil keputusan. Kondisi perjanjian Ulysses juga sering terjadi dimana anda membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk anda di masa depan. Seperti kasus pasien di rumah sakit yang mengalami trauma hebat, kehilangan keluarga atau orang yang dicinta, dimana pasien tersebut meminta untuk menghentikan segala perawatan dan meminta dirinya dimatikan saja dengan overdosis morfin. Tentunya kasus seperti ini akan dibawa ke komisi etik dan biasanya keputusan mereka adalah tidak membiarkan pasien mati karena pada masa datang pasien dapat saja menemukan jalan untuk mengatasi emosinya dan mendapatkan kembali kebahagiaan. Seperti Ulysses dan awaknya, kita bisa bergantung pada pandangan orang lain saat rasionalitas kita tidak dapat berpikir dengan jernih.


Bacaan yang ingin tahu lebih banyak:
Eagleman, David. Incognito: The secret of the living brain


Read More..