Sabtu, 06 Oktober 2012

The Umwelt and the Umgebung

sumber gambar: forum.grasscity.com
In 1670, Blaise Pascal noted with awe that “man is equally incapable of seeing nothingness which he emerges and the infinity which he is engulfed.” Pascal recognized that we spend our lives on a thin slice between unimaginably small scales of the atoms that compose us and the infinitely large scales of galaxies. (David Eagleman in Incognito)

Faktanya kita, manusia, adalah organisme dengan keterbatasan yang sangat luas; tidak berbeda dari organisme lainnya di muka bumi, hanya saja manusia memiliki kelebihan-kelebihan dibanding mereka. Terlepas dari intelegensi dan kemampuan manusia untuk bertahan hidup sehingga menjadikannya sebagai organisme yang mendominasi, manusia dibatasi oleh kondisi biologisnya. Baiklah, kita semua, manusia pada umumnya, melihat dunia dalam warna-warni yang memikat. Berbeda dari hampir semua hewan yang tidak melihat banyak warna yang sama dengan kita. Kita melihat dunia dan percaya bahwa hal-hal yang kita lihat merupakan suatu realitas objektif tentang ‘dunia di luar sana’. Pada bagian belakan mata, kita memiliki tiga jenis reseptor yang terspesialisasi dan teroptimalisasi untuk menangkap radiasi gelombang elektromagnetik yang memantul dari suatu benda yang kemudian kita sebut sebagai cahaya tampak. Ketika para reseptor menangkap radiasi ini, mereka akan melepaskan sinyal-sinyal ke dalam otak yang selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk persepsi yang kita sebut sebagai penglihatan (visual). Tetapi sayangnya, hanya sepersekian dari spektrum elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh tiga jenis reseptor ini yang berarti sisa dari spektrum elektromagnetik ini, dari berbagai gelombang yang membawa sinyal TV atau telepon genggam hingga sinar X dan sinar gamma, terlewat begitu saja tanpa kita sadari. Ya, sains kemudian maju melangkah jauh sehingga kita menciptakan alat yang dapat ‘melihat’ apa yang tidak bisa kita lihat. Tidak perlu berbicara mengenai dunia mikroba yang tidak bisa kita lihat atau semesta nun jauh di sana yang tidak bisa kita jangkau, pada tataran skala dunia kita berdiri, realitas objektif mengenai ‘dunia’ sekitar yang kita yakini, pada realitanya tidak objektif. Kita memiliki kekurangan dalam ‘melihat’ dunia sekitar kita (realitas yang lebih besar) secara utuh.

Sebuah konsep kemudian diperkenalkan oleh seorang biologis Jerman, Jakob von Uexkull, setelah ia menyadari adanya perbedaan dari hewan-hewan pada suatu ekosistem yang sama dalam menangkap sinyal atau tanda dari lingkungan mereka. Dia berpendapat ada dua bagian di dunia ini: bagian yang kita bisa lihat atau rasakan yang dikenal sebagai the umwelt (lingkungan atau dunia sekeliling kita) dan realitas yang lebih besar yang dia sebut sebagai the umgebung. Setiap dari kita, setiap organisme di bumi memiliki umwelt-nya yang kemudian dipersepsikan sebagai realitas objektif mengenai ‘dunia di sekeliling’-nya. Pernahkan anda bertanya, bagaimana rasanya, bagaimana dunia orang yang terlahir buta (congenitally blind)? Apakah itu dunia yang gelap atau sesuatu seperti ketiadaan? Ternyata tidak seperti yang kita kira, perasaan adanya kegelapan atau ‘penglihatan yang hilang’ tidak dirasakan oleh mereka. Oleh karena mereka tidak memiliki indera pengelihatan sedari awal, mereka tidak merasakan adanya sesuatu yang hilang dari diri mereka, otak mereka tidak pernah menerjemahkan dunia visual sejak awal. Hal yang sama berlaku seperti mereka yang terlahir buta warna penuh atau sebagian, mereka tidak akan menyadari adanya warna yang hilang hingga mereka mengetahui bahwa orang lain dapat melihat corak yang tidak dapat mereka lihat. Pun jika anda berpikir bahwa semua warna yang dapat anda lihat merupakan suatu realitas yang sejati maka anda perlu berpikir ulang. Ada sebuah fenomena mutasi genetik yang terjadi pada paling sedikit 15% wanita dunia yang memberikan mereka satu jenis ekstra fotoreseptor di mata. Dengan empat jenis fotoreseptor ini, mereka dapat membedakan secara jelas warna yang terlihat sama oleh sebagian besar dari kita. Bahkan dalam skala diri sendiri pun, manusia memiliki keterbatasan yang besar.

Tetapi semua ini baru separuh cerita. Saya mengasumsikan para pembaca blog saya percaya akan adanya Tuhan, atau paling tidak adanya suatu kekuatan yang berada di luar kita. Konsep adanya Pencipta Maha Cerdas, bagaimanapun dikritisinya oleh paham ateisme, secara tidak langsung disadari sendiri dengan adanya konsep the bigger reality atau the umgebung. Bagaimanapun dahulu manusia percaya bahwa bumi datar dan merupakan pusat dari semesta yang menyebabkan matinya banyak pemikir cerdas. Beratus tahun kemudian kita menemukan adanya galaksi-galaksi lain selain bimasakti. Dahulu manusia percaya bahwa mahluk hidup dibuat dari unsur-unsur api, air, kayu, tanah, dan sebagainya, namun kini dengan bantuan alat-alat tertentu kita bisa menemukan adanya entititas terkecil dari atom hingga quark. Jika apa yang kita lihat belumlah tentu benar adanya maka apa yang tidak bisa kita observasi belumlah tentu benar ketidakadaanya. Iman atau percaya merupakan suatu keyakinan diri kita akan adanya kekuatan-kekuatan Maha Cerdas di luar sana yang menjadi penyambung dari segala keterbatasan kita. Meskipun tidak bisa kita observasi, seringkali kita menemukannya dalam diri dan dunia sekitar kita.

”… Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya…” (Qs. 2:255)

Bacaan menarik untuk disimak lebih lanjut:
Eagleman, D. (2011). Incognito: the secret lives of the brain. New York: Vintage Books.
Purwanto, A. (2008). Ayat-ayat semesta. Bandung: Penerbit Mizan.




Read More..