(sumber gambar: proumedia.com) |
Nampaknya terdapat pergeseran pemaknaan ungkapan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Berikut sedikit uraiannya dari ust. Salim A. Fillah,
Ada dua hal yang mengikatnya, tuntunan Qur’an-Sunnah dan kebiasaan dalam bahasa Arab. Al Qur’an menuturkan bahwa subhanallah digunakan dalam mensucikan Allah dari hal yang tidak pantas. “Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dsb”, Ayat-ayat berkomposisi seperti ini sangatlah banyak. Selain itu, subhanallah juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikan semacam syirik (Qs. Saba: 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita (Qs. Yusuf: 108), dan sebagainya.
Bukankah ada juga pe-Mahasuci-an Allah dalam hal menakjubkan? Uniknya, Al Qur’an menuturnya dengan kata ganti kedua (Qs. Ali Imran: 191) atau kata ganti ketiga yang tak langsung menyebut Asma Allah (Qs. Al Israa: 1). Ia juga terpakai pada me-Mahasuci-kan Allah dalam menyaksikan bencana dan mengakui kezaliman diri (Qs. Al Qalam: 29) serta menolak fitnah keji yang menimpa saudara (Qs. An-Nuur: 16).
“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila berjalan turun membaca tasbih.” (HR. Bukhari, dari Jabir). Pada hadist ini “subhanallah” diletakkan dalam makna ‘turun’ dan bukannya ‘naik’. Sesuai dengan kebiasaan orang dalam bahasa Arab, secara umum subhanallah digunakan untuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di mana tak pantas Allah swt dilekatkan padanya. Kesimpulannya, zikir tasbih secara umum adalah utama sebab ia adalah zikir semua mahluk dan tertempat di waktu utama pagi dan petang. Adapun dalam ucapan sehari-hari, mari membiasakannya sebagai pe-Mahasuci-an Allah atas hal yang memang tak pantas bagi keagungan-Nya.
Bagaimana dengan masya Allah? Qs. Al Kahfi ayat 39 memberikan kita contoh; ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah, berupa kebun subur menghijau jelang panen, anak-anak yang ceria menggemaskan dan harta yang banyak. Kalimat lengkapnya, Masya Allah la quwwata illa billaah; pada kalimat kedua menegaskan lagi: tiada kemampuan mewujudkan selain atas pertolongan Allah. Pun demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab, mereka mengucapkan masya Allah pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan. Simpulannya, masya Allah adalah ungkapan ketakjuban pada hal-hal yang indah, dan memang hal indah itu dicinta dan dikehendaki oleh Allah.
Demi ketepatan makna keagungan-Nya dan menghindari kesalahpahaman, mari membiasakan mengucap “subhanallah” dan “masya Allah” seperti seharusnya. Membiasakan bertutur sesuai makna pada bahasa asli, insya Allah lebih tepat dan bermakna. Tercontoh orang Indonesia bisa senyum gembira padahal sedang dimaki. Misalnya dengan kalimat, “Allaahu yahdik!” Arti harfiahnya, “Semoga Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui bahwa makna kiasan dari “Allaahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!” Jadi, mari belajar tanpa henti dan tak usah memaki.
(disarikan dari Menyimak Kicau Merajut Makna oleh Salim A. Fillah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar