Sabtu, 05 November 2011

Bersama kembali ke kultur ilmiah

Science is an ever-changing field. As new thing discovered, we see the world better

Bahwa mahasiswa adalah iron stock bukanlah suatu hal yang perlu diragukan. Kita sering menganggap bahwa mahasiswa dengan kehidupan kampusnya yang ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, merupakan miniatur dari sebuah negara. Anda bisa membayangkan bahwa sistem keorganisasian, sistem hirearkinya,-walaupun tidak persis sama- mirip dengan sistem kenegaraan, dengan segala lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang ada di dalamnya. Di satu sisi, aspek keilmiahan (hard competence) pun terus berkembang, walau harus merangkak pelan. Dari tahun ke tahun, sepanjang 4 tahun berkecimpung di dunia kampus FMIPA UI, saya melihat pergerakan maju.

Dari pergerakan
"Hidup Mahasiswa !!!"
"Hidup Rakyat Indonesia!!"

Yel itu adalah slogan khas pergerakan sosial-politik mahasiswa. Idealisme tinggi dengan semangat menggebu untuk memperbaiki bangsa. Aksi adalah hal yang wajar di universitas ini, bagaimana tidak, sebagai satu-satunya kampus besar yang dekat dengan ibu kota, begitu besar arus pergerakan sosial-politik yang mengalir bersama kehidupan organisasi kampus. Di klimaks tahun 1998, kondisi itu begitu menyelimuti dunia mahasiswa, aksi, demonstrasi, tuntutan-tuntutan perbaikan di sana-sini.

Olehnya reformasi bergulir, merubah peta kekuatan dan kekuasaan. Sekali lagi, eksistensi mahasiswa tidak bisa diabaikan. Mahasiswa adalah pihak yang unik, kualitas intelektualitas mereka selalu membuat para tetua mengangguk takjub, idealisme mereka yang demikian besar menjadi kontrol moral bagi pribadi dan komunitas masyarakatnya.

It's changing
Secara kasat mata, saya melihat gradasi perubahan cara mahasiswa menunjukkan idealismenya, memperbaiki ibu pertiwi. 'Turun ke jalan', meski tetap menjadi metode yang ampuh untuk menyampaikan suara-suara nurani, sudah mulai tidak menjadi primadona; atau paling tidak, 'jalan' yang dimaksud sudah mulai berpindah. 'Jalan-jalan'nya menjadi bentuk real turun tangan langsung memperbaiki bangsa, tidak melulu mengandalkan semangat menggebu, namun juga kesadaran untuk men-down to earth-kan hard competence. Bahwa segala yang mahasiswa dapat dibangku perkuliahan bukanlah permata di menara gading, hal tersebut sudah seharusnya menjadi mata air yang memberikan kesegaran di sekitarnya. Bahwa mahasiswa, terlepas bagaimana dia menjalankan kehidupan kampusnya, haruslah bertanggung jawab atas kompetensi yang dimilikinya (atau yang seharusnya dimilikinya) kepada masyarakat, atau minimal orang-orang yang berinvestasi kepadanya.

Saya melihat banyak solusi-solusi nyata untuk permasalahan bangsa yang keluar dari kompetensi para mahasiswa. Meskipun sebagian besar masih berada tahap gagasan ataupun prototype, ide-ide cemerlang itu menanti untuk ditangkap dan direalisasikan. Setiap orang memang tidak selalu dapat menghasilkan gagasan cemerlang, namun gagasan dapat datang dari siapa saja. Hal sederhana yang perlu kita lakukan, adalah memperhatikannya dengan baik, maka ide-ide sepele pun dapat berpengaruh besar pada kehidupan manusia. Anda tahu? Lihat saja sebuah ide sederhana dahulu, membotolkan air minum! Dan sekarang anda pasti selalu melihat sampah botol air minum di mana-mana.

Moving forward
Jelas ada perubahan besar dari tahun 2007 hingga tahun 2011, pergesaran concern ke arah keilmiahan. Lihat saja, mahasiswa baru disambut tidak lagi hanya dengan slogan Hidup Mahasiswa !, namun juga dorongan untuk berkarya dalam bidang ilmiah. Pemicu utamanya tentu saja PKM (Program Kemahasiswaan Mahasiswa) yang diadakan oleh Dikti ini. Semakin tingginya tingkat kegerahan mahasiswa UI akan ajang ilmiah yang satu ini. Ajang ini seakan-akan harus dapat ditaklukan, jika tidak ingin terus menjadi duri dalam daging. Ajang keilmiahan dan kompetensi lainnya, seperti Mahasiwa Berprestasi, MUN (Model United Nation), olimpiade sains, kontes robotik, berbagai macam ajang dalam bentuk speech, debate atau paper presentation, mulai dari yang bersifat cultural events hingga international conferences banyak ditaklukan oleh mahasiwa UI. Hanya di ajang tingkat nasional ini, PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiwa Nasional), UI belum pernah menunjukkan giginya secara maksimal. Truly, it's really annoying guys.

So, we're moving forward, ajang-ajang penulisan karya ilmiah ini begitu digalakan. Kampanye, pelatihan, seakan-akan semua bidang keilmiahan di seluruh fakultas melebur, berstrategi untuk mencapai cita bersama. Dan gradasi tersebut terlihat nyata -setidaknya di fakultas saya, FMIPA-, perubahan concern ke arah keilmiahan. Dan memang seharusnya seperti itu, sebagai fakultas yang menyandang nama science. Hal ini seperti, kita kembali ke zona sendiri setelah beberapa lama ditinggalkan. Beruntunglah mereka yang berkuliah di fakultas MIPA dan Teknik, mereka tidak perlu mencari kemana tentang rasa keilmiahan, what we only need is just to look in ourselves, it’s in us ! Dan yang perlu kita lakukan adalah dengan meletakkan kompetensi kita kepada tempat yang semestinya, bukan di menara gading nun jauh di atas, tetapi di sekitar kita, di masyarakat kita, di tengah bangsa ini. Surely, we just have to look deeper around and we'll find that every single knowledge of us is a problem solver to every single problem existed.
"what we only need is just to look in ourselves, it’s in us !"
PIMNAS terasa menjadi trigger bangkitnya kembali kultur menulis di mahasiswa UI, menuliskan gagasan tidak hanya mengendapkan dalam otak sendiri, berkarya menghasilkan sesuatu hal, dan bukan hanya unjuk bicara. Namun, ini semua bukan tentang PIMNAS, ataupun ajang-ajang kompetisi ilmiah lainnya. Ini tentang keilmiahan itu sendiri, tentang bagaimana kita sebagai seorang mahasiswa adalah masyarakat ilmiah, berpikir dan bertindak yang mencerminkan karakter manusia rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar