Minggu, 03 Juni 2012

Mars, Venus dan Bumi

Ada sebuah eksperimen menarik (sayang saya tidak bisa menelusuri literatur aslinya), melibatkan empat kelompok subjek eksperimen, dimana perbandingan jumlah pria dan wanita seimbang dalam setiap kelompok. Para peneliti menciptakan seorang vice president fiktif dan meminta tiap kelompok memberi peringkat kinerja tokoh fiktif itu. Setiap kelompok diberitahu kinerja tokoh fiktif tersebut, tapi kelompok pertama diberi tahu bahwa tokoh fiktif tersebut adalah seorang pria, sebaliknya kelompok kedua diberitahu bahwa sang vice president adalah seorang perempuan. Kelompok pertama menilai pria tersebut sebagai sosok yang ‘sangat kompeten’ dan ‘menyenangkan’, sedangkan kelompok kedua menilai vice president, yang diberitahu bahwa dia adalah seorang perempuan, sebagai ‘menyenangkan’ tetapi ‘tidak kompeten’. Semua variabel sama, hanya gender yang dipersepsikan saja yang berubah.

Kelompok ketiga diberitahu bahwa sang vice president adalah seorang pria bintang, berprestasi cemerlang dan kariernya sedang meroket di perusahaan. Kelompok ini menilai bahwa pria tersebut sebagai ‘sangat kompeten’ dan ‘menyenangkan’. Sebaliknya kelompok keempat diberitahu bahwa sang vice president adalah seorang perempuan bintang yang juga sedang meroket menjadi eksekutif puncak. Sang perempuan bintang dinilai sebagai, ‘sangat kompeten’, tapi tidak dianggap ‘menyenangkan’.

Apa inti dari penelitian di atas ? Terlepas dari validitasnya, bias-bias gender benar terjadi di dunia ini dan seringkali menyakitkan orang dalam kehidupan nyata. Banyak kebingungan-kebingungan mengenai pria dan wanita, soal interaksi mereka juga posisi di antara mereka. Selangkah lebih maju oleh ahli ilmu jiwa modern Amerika, John Gray, mengibaratkan pria dan wanita berasal dari planet yang berbeda, sang pria berasal dari Mars dan sang wanita berasal dari Venus. Tetapi, kita tidak akan berkutat pada kebingungan perbedaan yang memang ada (atau yg sengaja diadakan) dan persamaan yang juga ada (ataupun diada-adakan), mari kita mulai selami makna hal-hal tersebut. Dan ikat sabuk pengaman anda, karena kita akan memulainya dari ukuran nano, tempat perbedaan pria-wanita berasal.

The X’s gene

Soal bagaimana kita menjadi pria dan wanita, jawaban singkatnya adalah takdir ! Tenang, ini bukan tentang mempertanyakan kenapa kita terlahir sebagai pria atau wanita, tetapi mengilhami apa yang ada di balik penciptaan tersebut. Tentunya sebagaimana yang diajarkan pada kelas biologi, identitas jenis kelamin diawali dari antusiasme jutaan sel sperma yang memperebutkan satu sel telur berukuran besar. Kira-kira perbandingan kedua sel tersebut adalah seperti ukuran matahari versus ukuran pesawat Enterprise-nya NASA. Ya, dan kita tercipta dengan mewarisi 46 untai DNA yang disebut sebagai kromosom, dengan masing-masing 23 kromosom berasal dari ayah dan 23 lainnya berasal dari ibu. Empat puluh enam untai DNA dan dua diantaranya adalah kromosm seks yang kemudian kita menyebutnya kromosom X dan Y.

Sederhananya, jika anda mendapat dua kromosom X maka anda akan menjadi perempuan, sementara jika anda mendapat satu kromosom X dan satu kromosom Y maka anda akan berubah menjadi pria. Artinya, prialah yang menentukan jenis kelamin anak, maka jangan salahkan sang istri jika anda tidak bisa mendapatkan anak laki-laki. Hal yang menarik adalah ada kesenjangan parah antara kedua kromosom tersebut. Sementara kromosom X berhubungan dengan sebagian besar proses perkembangan yang penting dengan membawa lebih dari 1500 gen, kromosom Y hanya membawa sekitar 100 gen saja. Sehingga janin laki-laki membutuhkan setiap gen dari kromosom X yang bisa didapatkannya, sementara janin perempuan memiliki dua kali lipat kromosom X dari yang dibutuhkannya. Apakah memiliki dua kali lipat ini berarti lebih baik ? Sayangnya tidak dan justru janin perempuan tersebut akan mengabaikan salah satu kromosom X begitu saja. Hal ini disebut dengan penonaktifan dan dari kedua kromosom X tersebut yang manakah yang akan dinonaktifkan, apakah dari ayah atau dari ibu ? Jawabannya tidak ada kecenderungan tertentu. Para peneliti nampaknya menganggap proses penonaktifan tersebut sebagai peristiwa yang acak. Penonaktifan satu kromosom X tidak terjadi pada laki-laki dan ini berarti kromosom X mereka seluruhnya berasal dari ibu. Ini jelas sangat berbeda dengan saudara perempuan mereka yang akan lebih kompleks secara genetis. Dan kabar mengejutkannya adalah perbedaan tersebut sangat mungkin menimbulkan potensi perbedaan antar gender.

Dari X menuju emosi

Kita mengetahui bahwa kromosom X membawa lebih dari 1500 gen dan banyak dari gen tersebut mengatur bagaimana cara manusia berpikir. Gen-gen tersebut dari kromosom X ini didapati ikut dalam proses pembentuk protein-protein yang terkait dengan fungsi otak. Sehingga pada akhirnya memang ada perbedaan dalam proses pemelajaran (yang bukan berarti ada perbedaan cara berpikir) antara pria dan wanita. Perbedaan tersebut paling menonjol terletak pada amygdala, sebuah bagian pada otak yang mengendalikan penciptaan emosi serta kemampuan menginga emosi-emosi tersebut. Amygdala pada otak perempuan cenderung berkomunikasi (melalui perantara senyawa biokimia tentu saja) pada otak belahan kiri yang cenderung mengingat detail-detailnya. Sebaliknya, amygdala pada pria akan cenderung berkomunikasi dengan belahan otak kanan yang cenderung mengingat substansi atau inti dari suatu pengalaman. Artinya, perempuan lebih bisa mengingat peristiwa yang penting secara emosional, seperti pertengkaran, liburan, perayaan pernikahan secara mendetail dan lebih mendalam. Pada akhirnya, jelas bahwa ingatan-ingatan detail akan suatu peristiwa yang penting secara emosional akan membuat siapapun (laki-laki atau perempuan) menjadi lebih emosional dalam menanggapi peristiwa tersebut. Bukan karena ‘perempuan’-nya, melainkan karena cara mengingat detailnya yang membuat seseorang lebih emosional dalam menanggapi suatu peristiwa.

Menuju hal yang kontroversial: perilaku
Jujur saja, perang antar gender dalam mencirikan perilaku-perilaku khas gender memiliki sejarah yang cukup runyam. Hal ini bahkan tidak terlepas dari para intelektual cemerlang, seperti Larry Summers, mantan rektor Harvard, yang mengaitkan adanya hubungan antara rendahnya skor matematika dan sains pada perempuan dengan genetika perilaku yang hampir membuatnya terjungkal dari posisinya. Tetapi ketika para peneliti mempelajari mengenai perbedaan-perbedaan perilaku khas antara pria dan wanita, maka mereka membicarakan tren yang muncul pada populasi dan bukan individu-individu. Oleh karena itu, penelitian tersebut akan bergantung pada statistik dan bagaimana mereka menginterpretasikan data statistik tersebut. Memang mungkin akan muncul tren-tren tertentu pada suatu sampel populasi, namun variasi-variasi akan tetap selalu ada.

Pada kondisi patologi (secara sederhana berarti berpenyakit), perbedaan gender nampaknya muncul pada kondisi-kondisi gangguan jiwa. Misalnya, laki-laki lebih parah dalam mengidap skizofrenia dibandingkan dengan perempuan atau pria menunjukan perilaku yang lebih anti sosial, sementara wanita lebih pencemas. Begitu pula dengan pernyataan bahwa sebagian besar pecandu alkohol dan obat-obatan adalah laki-laki.

Mengenai Bumi
Usaha-usaha untuk lebih mengerti diri kita sendiri atau siapa diri kita sebenarnya yang mendorong para peneliti di Barat melakukan berbagai eksperimen-eksperimen yang berkaitan perilaku-perilaku khas gender. Seperti apakah ada perbedaan cara berbicara antara wanita dan pria, hal ini nampaknya ada dan perbedaan ini cukup berarti, meskipun belum ada kejelasan yang berarti sampai sejauh mana perbedaan tersebut. Bagi anda yang berpegang kuat pada agama ataupun kepercayaan anda, mungkin dicukupkan dengan penjelasan bahwa bukan masalah pria atau wanitanya, melainkan bagaimana manusia (yang terdiri dari pria dan wanita) berbakti (beribadah) kepada Penciptanya. Dan, secara ilmiah, pria memang tidak pernah berasal dari Mars dan wanita tidak berasal dari Venus. Alih-alih mencari perbedaan di kedua planet, secara sederhana saya mengatakan bahwa keduanya sama-sama berasal dari planet Bumi.



Bacaan untuk yang ingin tahu lebih banyak:

  1. Medina, John. (2008). Brain rules.
  2. Lilienfeld, S.O., S.J. Lynn, J. Ruscio and B.L. Beyerstein. (2010). 50 great myths of popular psychology: shattering widespread and misconceptions about human behavior.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar