Kamis, 09 Desember 2010

Saya tentang Pemira UI: Refleksi Sederhana dari Mata Awam

(Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan)

The key to successful leadership today is influence, not authority.” (Kenneth Blanchard)

Prolog
Perhelatan PEMIRA (Pemilihan Raya) mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2010 ini berakhir sudah. Banyak kejadian, dari awal pendaftaran peserta Pemira hingga detik-detik pengumuman hasil perhitungan suara. Sebagai miniatur sebuah negara, universitas menjadi laboratorium besar, tempat di mana para mahasiswanya mencoba kemampuan dirinya dalam berpolitik, berhukum, mencari relasi, hingga berstrategi (baik sehat atau tidak) besar untuk maju. Ada kepentingan-kepentingan di dalamnya? Tentu saja, karena memegang kebenaran pun berarti kita memiliki kepentingan untuk kebenaran dan kebaikan agar tetap bersinar, meski di dasar tergelap. Walau siapapun yang menang belum tentu benar, namun kebenaran pasti akan menang pada akhirnya.
Secara kasat mata, terdapat klasifikasi besar untuk latar belakang akademis seorang mahasiswa, IPA dan IPS. Entah sejak kapan ada dikotonomi seperti ini, namun batas-batas latar belakang akademis seorang mahasiswa tidak mampu menahan keinginan mereka untuk mempelajari dan menguasai bidang lainnya. Napak tilas beberapa ratus tahun ke belakang, saat Andalusia benderang, para cendikiawan rasa-rasanya tidak ada yang ahli hanya di satu bidang, namun di berbagai bidang ilmu yang berbeda. Mungkin saat ini, manusia terlalu mengerdilkan kemampuan otak mereka, entahlah. Penulis sendiri orang dengan latar belakang sains, meski tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang berbau politik, tetapi sadar politik tetap diperlukan, agar tidak terjajah di negeri sendiri, agar paham kondisi masyarakat, agar tidak mudah dibodoh-bodohi apalagi ditipu. Banyak juga orang-orang dengan latar belakang sains justru gemilang di bidang perpolitikan, hukum, sosial, dan lain sebagainya.

Ada Keberpihakan, ada Dinamika

Netralitas hampir tidak pernah ada, kecuali untuk materi-materi kecil itu, nukleus dan teman sejenisnya. Pun inti atom stabil yang bersifat netral itu juga dibentuk dari materi-materi yang berpihak pada positif dan negatif. Kita selalu berpihak, entah pada orang lain atau golongan bahkan pada diri sendiri. Netralitas justru dapat menjadi hal yang salah, karena jika kita tidak berpihak pada kebenaran, pasti kita berpihak pada hal selain itu. Zona abu-abu tetap akan ada, tetapi tendensi akan selalu mengarahkan pada salah satu sisi.
Itu pergolakannya, itu dinamikanya. Kita tetap harus memilih, karena tidak memilih pun menjadi sebuah pilihan. Pertanyaannya maukah kita terlibat di dalamnya, menjadi pemain dan bukan penonton yang hanya bersorak riang jika menghibur dan bersorak riuh jika ricuh. Semangat-semangat merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dan benar hanya dimiliki para pemain, mereka yang takut dan hanya menonton adalah pecundang sejati. Laiknya orang alim yang Allah azab terlebih dahulu akibat tidak tersentuh hatinya untuk bergerak merubah masyarakatnya yang berada dalam kedzaliman.

Pemira UI, The Candidates and Their Ways to get people’s hearts
Pemira tahun ini adalah kali keempat penulis mengikutinya. Selama ini tentu saja tetap ikut berpartisipasi, baik sebagai pemilih, campaign manager , tim sukses, atau bantu-bantu panitia pemira. Tahun 2010 ini, peserta untuk calon ketua dan wakil ketua BEM UI adalah pasangan Sakti-Sri dan Maman-Ijonk, anggota independen DPM UI ada 5 (saya lupa, tetapi salah satunya adalah Eko Aditya Rifai), MWA unsur mahasiswa adalah Jay dan Danar. Berbeda dari tahun sebelumnya, MWA unsur mahasiswa tidak dipilih melalui eleksi, tetapi berdasarkan fit and proper test dari anggota DPM UI.
Pembukaan apik dengan roadshow keliling kampus UI depok dan salemba, memperkenalkan siapa calon-calon yang lulus verifikasi. Walau tidak dengan diarak tetapi menjadi kilas-kilas pertama para kandidat untuk menyapa para calon pendukungnya. Selanjutnya, tentu saja masa kampanye, ‘menjual’ diri agar dipilih tentu hal yang lazim dilakukan. Kampanye calon anggota independen DPM UI tidak terlalu heboh, dengan hanya 5 calon dan masing-masing dari fakultas yang berbeda, mereka hanya perlu mengumpulkan 10% jumlah suara dari total mahasiswa yang memilih. Begitu pula dengan MWA unsur mahasiswa, tidak banyak yang terjadi, meski saat acara debat kandidat MWA unsur mahasiswa berlangsung cukup baik, tiap calon memperlihatkan kemampuan dan ‘pesona’ mereka masing-masing. Alur berpikir, pemilihan kata, intonasi, dan ritme berbicara menjadi poin penting yang memikat hati dalam setiap debat.

(bersambung...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar