“Orang kecil seperti kita, jika tidak punya mimpi maka akan mati boi” (Arai dalam Sang Pemimpi)
Saya pernah bercerita kepadamu tentang mimpi masa lampau, kenangan yang tersimpan dalam kantung-kantung memori yang tersebar di segala penjuru otak. Ada romantisme masa kecil, di mana kita dahulu duduk dan bermain, menikmati sinar matahari dan semilir angin di bawah naungan pohon rindang, melihat alang-alang menari dalam irama hembusan angin. Saya pernah berkisah kepadamu, bahwa angin berbisik lembut saat itu, melayangkan mimpi dan cita kita ke awan yang berarak tenang dalam formasi tiga-tiga. Dan kawan, masihkah engkau dapat mengingat mimpi masa itu, kemudian berani merenggutnya dari angan-angan yang terlelap ?
Mimpi yang mana?
Setiap kita bermimpi, paling tidak berangan dalam lamunan-lamunan di waktu siang atau dalam kejadian-kejadian dalam kepala saat kita terlelap. Ada mimpi yang mengalir masuk ke dalam alam bawah sadar kita, mengisi kekosongan di sudut angan-angan kita. Mimpi yang begitu nyaman, logis, begitu nyata, sampai-sampai kita bisa melihatnya di depan kita. Harapan, cita, impian, atau apapun anda ingin menyebutnya, dan kita sama-sama tahu, mimpi yang seperti ini, mengambil energi harapan kita, menggunakan sumber daya yang kita miliki. Dan kita selalu berharap, mimpi-mimpi ini bisa memeluk erat takdir yang menjadikannya nyata.
Mimpi dan saya kegagalan
Tidak semuanya memeluk takdir, seakan kesempatan menjadi begitu terbatas di depan kita. Pintu-pintu kesempatan menjadi begitu tertutup dan kita dihadapkan pada keputusan yang sulit. Ya, kita bermimpi dan kita juga pernah, mungkin sering, bertemu kegagalan di tengahnya. Bahkan kita sudah melihat kegagalan sebelum melangkah untuk mengambilnya, kita kalah bahkan sebelum berperang. Kita dan begitu banyak kegagalan yang sering dilihat, membatasi mimpi kita, menyadarkan kita bahwa kita tak akan pernah sanggup, bahwa hal yang realistis adalah hal yang aman. Kita mulai tidak berani melangkah ke luar lingkaran, kita membatasi mimpi dan ya, kita melupakan romantisme mimpi masa kecil.
Mimpi dan saya cibiran
“Berhentilah mengolokku, agar kau tidak menangis saat aku melenggang anggun di atas mu kelak”
Saya pemimpi dan mereka menyebut saya orang yang tidak pernah realistis. Tapi pemimpi yang sebenarnya tidak membiarkan mimpi mereka hanya berada di ranjang tempat tidur mereka atau melayang di sekitar angan-angan siang hari. Saya memiliki mimpi dan mereka menyebut saya mengada-ada. Mungkinkah orang kecil memang tak pernah diizinkan untuk menjadi besar. Mungkin lingkungan kita tak pernah mengizinkan kita melewati batas yang ditetapkan. Orang rata-rata tidak pernah mengizinkan orang lain lebih dari rata-rata. Dan memang saya pantas dicibir, ketika saya hanya duduk diam memangku tangan dan mulai berangan yang lain lagi. Dan cibiran bukankah hanya sebuah pengingatan bahwa ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk memeluk mimpi. Dan percayalah ketika mereka mengatakan tidak mungkin, tidak akan ada orang yang benar-benar bisa menghentikan kita, tidak satu jua pun, tidak ada kecuali diri kita sendiri.
Memberi ruang mimpi
“Latihan dengan hal yang tersulit bukanlah selalu berarti baik. Karena ketika kita mulai kelelahan, kita akan menurunkan target pencapaian, kita mulai tidak memberikan ruang pada mimpi.”
Bagaimana perbandingan antara keberhasilan dan kegagalan yang anda alami sampai saat ini ? Kita mulai menurunkan target, kita semua usaha menjadi begitu percuma, ketika semua ikhtiar begitu terasa sia-sia. Seiring dengan pertambahanan usia, kita menjadi begitu banyak melihat kegagalan di sekitar kita, menimpa orang-orang terdekat kita, juga menimpa diri kita sendiri. Kita mulai takut memeluk masa depan yang tidak pasti dan tergugu aman dalam lingkaran yang kita buat sendiri.
Mimpi itu harus direncanakan kawan, menjadikannya begitu realistis seakan kita dapat memeluknya sekarang juga. Dalam setiap rencana yang kita buat dalam kehidupan ini, kita mungkin perlu memberikan ruang untuk mimpi agar menjaga cahaya harapan tetap menyala hangat. Bukan menjadi naïf atau terjebak dalam utopia, tetapi kita mungkin memang perlu memberikan ruang untuk mimpi, agar menjadikan diri kita yakin akan adanya penghidupan yang lebih baik, agar menjadikan kita percaya bahwa dari semua kekurangan yang ada, selalu ada kesempatan untuk memperoleh hal yang lebih baik. Kita perlu memberikan ruang bagi mimpi, tidak terlalu besar agar tidak menjadikan kita terlelap di dalamnya, tidak terlalu kecil agar tidak mati dan meninggalkan kita dalam kekhawatiran, sebuah ruang yang cukup dalam kehidupan kita, agar nanti saat kita terlelah, kita dapat berhenti sejenak, melihat kembali ruang mimpi, mengisi energi perjuangan, dan kemudian berlari lagi.
Dan saya tahu kamu masih mengingatnya, saat kita menari bersama angin yang mengelus lembut kepala kita. Angin yang sama yang berbisik di telinga-telinga kita, “Tumbuhlah besar, berjiwa besar dan lihatlah segala sesuatunya dengan bijak. Maka engkau akan melihat bahwa hidup ini begitu adil.”
Read More..
If you can't explain it simply, you don't understand it well enough. (A. Einstein, 1879-1955)
Sabtu, 17 Desember 2011
Cinta bersemi di pelaminan
Oleh: Anis Matta, Lc.
Lupakan! Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami Nasr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Di sini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu! Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.
Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.
Keterangan:
Tulisan asli dapat di lihat di www.anismatta.com
Read More..
Lupakan! Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik. Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami Nasr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Di sini ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu! Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik. Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.
Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin. Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.
Keterangan:
Tulisan asli dapat di lihat di www.anismatta.com
Read More..
Senin, 12 Desember 2011
Tahap antara proses ekstraksi: Pemekatan
Tahapan ini boleh jadi merupakan tahapan yang tidak terlalu diperhatikan saat proses ekstraksi simplisia berlangsung. Hal ini merupakan hal yang wajar, mengingat tahapan ini di antara dua tahapan utama dalam proses ekstraksi, yaitu proses ekstraksi itu sendiri dan proses pengeringan ekstrak menjadi ekstrak kering.
Meskipun demikian, jenis ekstrak yang diinginkan mempengaruhi metode pemekatan yang dipilih. Ekstrak cair sebagai hasil ekstraksi dari ekstraktor, dikenal sebagai misela (miscella), pada umumnya akan dipekatkan dengan metode evaporasi. Ekstrak cair dimasukan ke alat evaporator dimana ekstrak akan dipekatkan dalam vakum untuk menghasilkan ekstrak kental. Ekstrak kental ini selanjutnya akan dikeringkan untuk mendapatkan ekstrak kering. Pada skala industri, pelarut yang berhasil didapatkan kembali akan digunakan lagi untuk ekstraksi batch berikutnya.
Pada proses lanjutan, ekstrak cair yang diperoleh dapat dilakukan:
Selain poin ketiga, setiap ekstrak perlu dilakukan pemekatan. Pada proses pemekatan perlu diperhatikan stabilitas kimia dari senyawa yang ingin diperoleh. Oleh karena itu, proses pemekatan sering kali dilakukan pada suhu 25° – 30° C atau temperatur tinggi dengan durasi singkat untuk menjaga kestabilan senyawa kimia yang bersifat termolabil.
Pemekatan didefinisikan sebagai peningkatan komposisi senyawa terlarut (solute) dalam pelarutnya melalui metode evaporasi atau vaporisasi (vaporization) tanpa mengubahnya menjadi produk kering, meskipun hasil akhir dari proses pemekatan dapat berupa ekstrak dengan viskositas tinggi. Istilah vaporisasi atau boiling down lebih sering digunakan untuk menggambarkan pemekatan suatu ekstrak dibandingkan dengan evaporasi. Evaporasi didefinisikan sebagai proses perubahan keadaan cair menjadi gas dengan kehadiran gas lain, misalnya udara, pada wadah atau tempat evaporasi. Namun pada istilah vaporisasi, hanya molekul dari pelarut yang hadir dalam wadah atau tempat vaporisasi. Istilah boiling down digunakan ketika objek yang ingin diperoleh kembali adalah zat padatnya atau konsentrat dengan kepadatan tinggi, sedangkan istilah vaporisasi digunakan ketika objek yang ingin diperoleh kembali adalah pelarutnya.
Parameter yang mempengaruhi proses pemekatan meliputi jumlah larutan yang akan dipekatkan dan kestabilan dari zat terlarut. Jika diperkirakan zat terlarut yang dikehendaki bersifat termostabil maka pemekatan dapat dilakukan pada tekanan biasa atau di bawah vakum. Zat yang bersifat termolabil harus dipekatkan dengan suhu yang diperkirakan tidak akan mendegradasi zat tersebut. Peningkatan tekanan dapat dilakukan agar suhu yang diperlukan untuk menguapkan pelarut dapat diturunkan.
Referensi:
List, P.H. dan P.C. Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical technology. London: Heyden & Son Limited.
Bomberdelli, E. 1991. Technologies for the processing of medicinal plants. In R.O.B. Wijesekera (ed). The medicinal plant industry. Florida: C R C Press Inc.
Handa, S.S., et. al. 2008. Extraction technology for medicinal and aromatic plants. Trieste: ICS-UNIDO
Read More..
Meskipun demikian, jenis ekstrak yang diinginkan mempengaruhi metode pemekatan yang dipilih. Ekstrak cair sebagai hasil ekstraksi dari ekstraktor, dikenal sebagai misela (miscella), pada umumnya akan dipekatkan dengan metode evaporasi. Ekstrak cair dimasukan ke alat evaporator dimana ekstrak akan dipekatkan dalam vakum untuk menghasilkan ekstrak kental. Ekstrak kental ini selanjutnya akan dikeringkan untuk mendapatkan ekstrak kering. Pada skala industri, pelarut yang berhasil didapatkan kembali akan digunakan lagi untuk ekstraksi batch berikutnya.
Pada proses lanjutan, ekstrak cair yang diperoleh dapat dilakukan:
- Pemekatan sebagian atau total, tergantung apakah ekstrak cair tersebut ditujukan untuk ekstrak kering, ekstrak cair, atau kental.
- Pemekatan sebagian atau diekstraksi kembali (counterextracted) dengan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan ekstrak yang lebih banyak dan lebih murni.
- Diekstrak kembali tanpa pemekatan untuk mengisolasi senyawa tertentu.
Selain poin ketiga, setiap ekstrak perlu dilakukan pemekatan. Pada proses pemekatan perlu diperhatikan stabilitas kimia dari senyawa yang ingin diperoleh. Oleh karena itu, proses pemekatan sering kali dilakukan pada suhu 25° – 30° C atau temperatur tinggi dengan durasi singkat untuk menjaga kestabilan senyawa kimia yang bersifat termolabil.
Pemekatan didefinisikan sebagai peningkatan komposisi senyawa terlarut (solute) dalam pelarutnya melalui metode evaporasi atau vaporisasi (vaporization) tanpa mengubahnya menjadi produk kering, meskipun hasil akhir dari proses pemekatan dapat berupa ekstrak dengan viskositas tinggi. Istilah vaporisasi atau boiling down lebih sering digunakan untuk menggambarkan pemekatan suatu ekstrak dibandingkan dengan evaporasi. Evaporasi didefinisikan sebagai proses perubahan keadaan cair menjadi gas dengan kehadiran gas lain, misalnya udara, pada wadah atau tempat evaporasi. Namun pada istilah vaporisasi, hanya molekul dari pelarut yang hadir dalam wadah atau tempat vaporisasi. Istilah boiling down digunakan ketika objek yang ingin diperoleh kembali adalah zat padatnya atau konsentrat dengan kepadatan tinggi, sedangkan istilah vaporisasi digunakan ketika objek yang ingin diperoleh kembali adalah pelarutnya.
Parameter yang mempengaruhi proses pemekatan meliputi jumlah larutan yang akan dipekatkan dan kestabilan dari zat terlarut. Jika diperkirakan zat terlarut yang dikehendaki bersifat termostabil maka pemekatan dapat dilakukan pada tekanan biasa atau di bawah vakum. Zat yang bersifat termolabil harus dipekatkan dengan suhu yang diperkirakan tidak akan mendegradasi zat tersebut. Peningkatan tekanan dapat dilakukan agar suhu yang diperlukan untuk menguapkan pelarut dapat diturunkan.
Referensi:
List, P.H. dan P.C. Schmidt. 1989. Phytopharmaceutical technology. London: Heyden & Son Limited.
Bomberdelli, E. 1991. Technologies for the processing of medicinal plants. In R.O.B. Wijesekera (ed). The medicinal plant industry. Florida: C R C Press Inc.
Handa, S.S., et. al. 2008. Extraction technology for medicinal and aromatic plants. Trieste: ICS-UNIDO
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)