If you can't explain it simply, you don't understand it well enough. (A. Einstein, 1879-1955)
Kamis, 10 Juni 2010
Jalan Berliku Menuju Keadilan: Kisah Nyata Seorang Maba 2010
Siang itu saya pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak karuan. Saya buka ransel sekolah saya sesekali, masih saya pandangi 1 bendel formulir pemberian Bu Arthena, guru BP saya. Saya masih tidak percaya jika ternyata 1 dari 4 formulir seleksi mahasiswa baru UI jalur PPKB untuk sekolah saya tersebut akan jatuh ke tangan saya.
Yah,itulah impian besar saya sejak saya mengenal apa itu PTN. Saya ingin sekali mengenyam pendidikan di UI, itulah hal yang memotivasi saya untuk belajar dengan sungguh-sungguh setiap harinya. Walaupun sebenarnya gerbang untuk meraih impian itu baru saja terbuka, saya galau juga. Kalau saya bicarakan hal ini kepada kedua orangtua saya, saya takut akan membuat mereka semakin terbebani, saya tidak tega. Saya sadar benar bahwa untuk makan sehari-hari saja sulit, sampai-sampai ibu saya harus merantau ke Jakarta. Bagaimana tidak,ayah saya hanyalah seorang PNS golongan II yang tiap bulan hanya menerima gaji bersih tidak lebih dari 350 Ribu.
Sampai sore hari pun saya masih belum berani membicarakan hal ini kepada Ayah saya. Setelah beberapa saat saya shalat Istikarah akhinya saya putuskan: Dengan nekatnya saya mendaftar diam-diam. Karena pada saat itu saya dibebani biaya pendaftaran 100 Ribu sementara saya tidak punya uang sama sekali, maka saya memberanikan diri mendatangi pemilik bimbingan belajar dimana saya biasanya mengajar les untuk meminta setengah dari gaji saya di awal. Beruntung sekali pemilik bimbel itu memaklumi keadaan saya, beliaupun memberikan uang 150 Ribu kepada saya.
Saya sadar bahwa langkah yang saya ambil ini salah karena bertindak tanpa sepengetahuan orangtua. Sehingga saya mendaftarkan diri belum mendapat restu dari orangtua. Tapi sekali lagi,niat dan kemauan saya untuk dapat kuliah di sana mengalahkan segalanya.
Setelah berkas dikirimkan, saya merasa lega. Namun lagi-lagi saya dihantui perasaan bersalah terhadap orangtua saya. Siang itu saya beranikan diri untuk memberi tahu kedua orangtua saya. Pertama kali saya menelepon Ibu saya, Alhamdulillah meskipun awalnya beliau agak kaget tapi pada akhirnya beliau memberi restu kepada saya. Yang agak membuat nyali saya teruji adalah ketika saya memberi tahu kepada ayah saya. Dan ternyata dugaan saya terbukti, ekspresi ayah saya saat itu sangat membuat saya merasa bersalah. Beliau berkata:”Nak, bagaimana kalau kita tidak mampu membayar biaya pendidikannya? Ayah khawatir kalau kamu bakalan dikeluarkan dan akhirnya kecewa. Dengan apa kita membayar? Ayah hanya punya rumah ini. Kalaupun dijual tidak akan cukup untuk membiayai kamu sampai selesai. Lalu bagaimana dengan Adikmu? Kamu memang kurang beruntung mempunyai Ayah seperti Ayah ini…”.
Itulah kata-kata yang keluar dari Ayah saya, ingin rasanya saya menangis ketika mendengarnya. Saya sangat merasa bersalah. Kemudian saya berusaha untuk selalu meyakinkan Ayah saya bahwa saya bisa, ada banyak beasiswa di UI dan saya akan berusaha dengan keras untuk kuliah dengan beasiswa. Kalaupun saya gagal mendapat beasiswa, saya akan bekerja paruh waktu untuk mencukupi biaya kuliah saya. Meskipun Ayah saya tidak begitu yakin dengan apa yang saya katakan, akhirnya beliau memberi restu kepada saya.
Pada tanggal 16 Januari 2010, saya berangkat sekolah jauh lebih pagi dari biasanya untuk mampir ke warnet melihat pengumuman diterima atau tidaknya saya di UI. Subhanallah, antara percaya dan tidak percaya ternyata saya diterima. Namun pandangan saya buyar ketika melihat besarnya biaya pendidikan yang harus saya bayar. Setelah saya cari-cari cara pembayaran, yaitu pada tanggal 29 Januari 2010, saya memutuskan, dan memang harus memutuskan untuk memilih sistem pembayaran BOP Berkeadilan, yaitu pembayaran biaya pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Saya langsung mendaftar secara on line, dan segera menririmkan berkas-berkas yang dibutuhkan sehari setelah itu. Pengumuman besaran biaya BOP baru diumumkan pada tanggal 8 Maret, sambil bersabar saya terus berdoa semoga permohonan saya tercapai. Besarnya BOP yang saya ajukan waktu itu adalah 100 Ribu (karena yang saya tahu skala BOP antara 0-7,5 Juta), DKFM dan lainnya 700 Ribu, sedangkan untuk uang pangkal saya menuliskan 0 Rupiah. Jadi kalau ditotal saat itu saya mengajukan Biaya keseluruhan sebesar 800 Ribu. Saya mengisinya bukan tanpa alasan, karena saya hanya mampu untuk membayar sebesar itu.
Dalam melengkapi berkas pendaftaran BOP, Saya mengalami beberapa kesulitan. Diantaranya adalah tentang 3 surat rekomendasi dari tetangga yang disertai dengan nomor telepon yang bersangkutan. Bagaimana tidak? Saya hidup di desa yang sangat pelosok, tetangga saya jarang yang mempunyai telepon mereka juga sedikit sekali yang bisa baca tulis. Waktu saya ke rumah Pak RT, saya menjadi ragu. Beliau sudah tua dan tidak punya telepon, akhirnya beliau menuliskan nomor telepon menantunya, itupun tidak selalu dirumah. Pencarian ke tetangga kedua jauh lebih sulit, waktu beliau menuliskan rekomendasi, tulisannya hampir tidak terbaca. Namun beruntung beliau mempunyai telepon yang bisa dihubungi. Surat rekomendasi ketiga saya ajukan kepada pemilik bimbel tempat saya mengajar, beliau adalah orang satu-satunya berpendidikan yang tahu keadaan saya.
Saya harap, melalui beliau inilah saya akan mendapatkan pencerahan. Selain mencari informasi dari internet, saya berusaha untuk mendapatkan nomor telepon kakak kelas dari UI yang bisa membantu saya. Awalnya saya mendapatkan nomor HP Kak ***, mahasiswa Farmasi, saya bercerita panjang lebar kepada beliau tentang keadaan yang saya hadapi. Selang beberapa hari beliau memberikan nomor HP seseorang yang dianggapnya tetap yaitu Kak *****. Saya juga tidak sungkan-sungkan menceritakan keadaan saya kepada beliau dengan harapan beliau dapat membantu saya menurunkan BOP B yang harus saya bayarkan. Awalnya saya malu, namun keinginan saya terlalu kuat untuk mengalahkan rasa malu saya.
Pengumuman BOP yang pertama pun akhirnya keluar. Pagi itu saya hampir menangis karena ternyata BOP sementara yang dibebankan kepada saya jauh dengan yang saya ajukan. Total yang harus saya bayar saat itu adalah 6,2 Juta. Pikiran saya menjadi kacau balau, bagaimana jika Ayah saya tahu? Beliau pasti akan bersedih. Saya terus berhubungan dengan pihak yang mengurusi BOP B melalui email, saya mengajukan Banding. Saya membuat pernyataan bahwa orangtua saya tidak mampu membayar sebesar itu dan hanya mampu membayar tidak lebih dari 1 juta saja. Tiap email yang saya kirimkan direspon, tapi isinya hanya menyuruh saya bersabar menunggu prosedur selanjutnya.
Selang beberapa hari setelah itu, tetangga saya memberi tahu saya bahwa beliau dihubungi pihak UI, namun tidak jelas dengan setiap pertyanyaan yang diajukan oleh pihak UI karena semua pertanyaannya menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan tetangga saya hanya mengerti bahasa Jawa. Saya sedih mendengarnya. Sorenya Pemilik bimbel juga bicara pada saya bahwa beliau mendapat telepon. Namun pada saat itu beliau sedang menghadiri acara hajatan tetangga sehingga tidak tahu kalau ada telepon dari pihak UI. Saya semakin kecewa. Kemudian saya mendatangi Pak RT, Jawaban yang saya dapatkan tidak jauh berbeda. Menantunya saat itu sedang di pabrik sehingga tidak tahu apa yang sedang ditanyakan pihak UI. Saya hampir putus asa, saya takut kalau hal ini akan mempengaruhi hasil BOP B saya.
Satu-satunya harapan saya saat itu adalah Ayah saya, ketika ditelepon ternyata beliau sedang dalam perjalanan. Beliau tidak dapat mendengar dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan karena keadaan yang sangat bising di jalan. Saya hampir menangis mendengarnya. Namun tidak ada yang bisa saya perbuat. Semuanya sudah terlanjur. Saya serahkan keputusan yang terbaik kepada Allah dan pihak yang mengurusi BOP B. Saya harap mereka dapat menetapkan jumlah yang paling adil kepada saya.
Pengumuman hasil Banding pun keluar. Pagi-pagi saya datang ke warnet. Saya kecewa berat karena BOP B saya tidak berubah, masih tetap 6,2 Juta. Saat mengetahui hal itu saya hanya bisa menangis dalam hati. Pikiran saya di sekolah menjadi tidak terfokus gara-gara tidak berani memberitahukannya kepada orangtua saya.
Karena saya masih belum percaya dengan hasil yang saya peroleh pagi itu, sepulang sekolah saya mampir ke warnet lagi. Ternyata informasi yang saya dapatkan berbeda dari yang tadi pagi keluar. Kalau paginya masih 6,2 Juta, siangnya menjadi 5,5 Juta dengan kebijakan 3 kali cicilan. Meskipun mengalami penurunan sebesar 700 Ribu, saya masih kecewa juga karena jumlah sebesar itu sangat jauh dari yang saya ajukan. Namun mau bagaimana lagi, di bawah pengumuman itu terdapat tulisan:”Keputusan penentapan ini bersifat Final dan tidak bisa di ubah lagi”
Sepulang dari warnet, dengan muka kusut, saya menyerahkan hasil cetakan pemberitahuan tersebut kepada Ayah saya. Ayah saya hanya terdiam saja. Saya takut kalau beliau akan kembali pesimis.
Saat membayar cicilan pertama, ada satu hal yang membuat saya tersentuh sebagai seorang anak. Karena Ayah saya tidak mempunyai uang sama sekali, beliau mendatangi Pak Camat untuk meminjam uang. Saya kasihan juga melihat Ayah saya yang menjadi seperti pengemis, demi saya. Setiap hari saya dihantui oleh perasaan ketakutan dan kegalauan. Apakah cicilan berikutnya kami masih mampu mengusahakan untuk membayar?
Tetapi ada satu hal yang meyakinkan saya bahwa dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286 Allah berfirman bahwa Dia tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umatnya. Saat itu mulai timbul keyakinan di hati saya bahwa saya pasti bisa melalui semua ini. Ayah dan Ibu saya, itulah semangat saya. Saya ingin membahagiakan mereka. Saya tidak ingin mereka bekerja keras terus-terusan. Dan saya harus bisa membawa perubahan.
Cicilan kedua pun menanti, seperti biasanya, Ayah saya tidak punya uang. Saya tidak ingin melihat lagi beliau menjadi seorang peminta-minta. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menelepon saudara saya yang di luar negeri. Ternyata tidak bisa. Saya mencoba lagi menghubungi saudara saya yang di Bekasi, Alhamdulillah beliau berkenan meminjami uang.
Semakin lama perjuangan sulit yang saya lewati ini tidak mengecilkan hati saya untuk mundur, justru mengobar semangat saya untuk tetap bertahan dan memperjuangkan semua ini. Banyak orang-orang terdekat saya yang terus menyemangati saya. Dengan dukungan dan doa mereka, saya berjanji saya akan semakin tegar dalam melangkah.
Sekarang ini saya masih dalam masa menunggu pengumuman beasiswa BIDIK MISI. Inilah harapan saya satu-satunya saat ini. Jika saya berhasil mendapatkannya, paling tidak saya akan melegakan hati kedua orangtua saya.
Dan semakin hari, jarak saya menuju sekolah impian saya, sebuah Universitas terkemuka di Indonesia dengan segala prestasinya semakin dekat. Saya semakin optimis! Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan saya untuk menggapainya, kecuali Allah. Saya akan buktikan kepada semua, bahwa saya gadis miskin dari desa yang hidup sendirian di sana akan dapat berprestasi, sungguh-sungguh dalam menggali ilmu dan tidak akan mengecewakan. Saya janji. Dengan Rahmat Allah, tidak ada yang tidak mungkin…
tulisan ini diambil dari note faccebook salah seorang sahabat
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150223396520145#!/note.php?note_id=10150223396520145
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Senang bisa mengunjungi jurnal ramadhan.
BalasHapussalam.
wa'alaykumsalam
BalasHapussama-sama