(sumber: wowiamreading.com) |
Saya sendiri tidak pernah mengingatnya dengan jelas, kapan saya mulai suka membaca. Hingga saat ini terkadang saya masih takjub dengan foto masa balita, seumur-umur yang belum bisa membaca, di mana saya duduk di sofa ruang tamu sambil membaca koran dengan posisi terbalik ! Saya sangat yakin bahwa pada saat itu, huruf ‘a’ atau ‘b’ atau ‘z’ tidak lebih dari sekedar gambar-gambar meliuk padat dan rapat. Saya kira ada sesuatu yang menarik perhatian seorang Gama kecil di koran yang terhampar begitu saja di sofa ruang tamu.
Sebelum memulai mengetik tulisan kali ini, saya menyempatkan diri membaca sejenak sebuah artikel yang terlihat menarik saat saya mengetik kata kunci ‘research reading cognitive' pada mesin pencari Google. Pada bagian pendahuluan dari artikel yang ditulis oleh Cunningham dan Stanovich (2001)* tereja istilah Matthew effects. Sebuah istilah yang menggambarkan fenomena di mana orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Singkat cerita, konsep yang sama ternyata berlaku pada kebiasaan membaca manusia. Semakin sering kita terekspos oleh pengalaman membaca maka semakin senang kita dalam aktivitas membaca. Konsep yang sama kemudian mengilhamkan untuk membentuk ‘pengalaman membaca’ yang kaya pada anak-anak untuk menumbuhkan minat membaca sekaligus mengasah kemampuan kognitif mereka. Saya berpikir bahwa ‘pengalaman membaca’ tak mesti tentang anak yang duduk diam membaca, bisa jadi kegiatan-kegiatan yang memiliki banyak aktivitas gerak yang dihubungkan dengan ‘kegiatan membaca’ atau ‘buku’.
Masa awal memasuki universitas boleh jadi menjadi waktu intensitas membaca saya meningkat drastis. Bukan hanya karena tuntutan kuliah, sungguh bukan hanya itu, tetapi juga karena pada masa awal tersebut saya belum memiliki alat elektronik bernama laptop. Alhasil, saya yang tinggal di kost pada saat itu sering berkunjung ke perpustakaan pusat universitas untuk sejenak mengatasi kebosanan di kamar kost pada akhir pekan, selain tentu saja karena saya bisa memakai lab komputernya untuk berselancar ria di dunia maya. Saya ingat ketika saya menyelusuri satu demi satu rak-rak buku di perpustakaan, dari sebelah rak-rak yang berisikan buku-buku psikologi, filsafat, juga agama, berlanjut ke buku-buku sains, kedokteran, teknik, hingga ke buku-buku rumpun humaniora. Dari sini saya menemukan ternyata mereka juga memiliki koleksi buku-buku fiksi ! Dari novel-novel ringan semacam teenlit hingga karya sastra karangan penulis besar yang saya bahkan baru sekedar melihatnya pun sudah tercium aroma beratnya sastra Indonesia. Maka saya perlu berterimakasih pada perpustakaan pusat universitas karena mengenalkan berbagai macam buku fiksi yang menarik untuk dibaca. Saya mengingatnya walau dengan samar, saya membaca hampir semua serial supernova karya Dee hasil pinjaman perpustakaan pusat, atau novel bahasa Inggris pertama yang saya baca karya James Patterson (judulnya saya lupa, yang pasti berhubungan dengan eksperimen genetik yang menjadikan anak manusia bersayap seperti malaikat) hingga novel karya Stephen King yang bahkan pada halaman pertamanya saja sudah membuat saya mengenyerengitkan dahi kemudian menyudahinya pada halaman kelima. Tentu saja saya tidak lupa untuk sekedar meminjam buku farmasi fisiknya Alfred Martin atau melihat-lihat beberapa halaman berwarna dari fisiologi manusianya William F. Ganong.
Satu hal yang saya tahu bahwa membaca dapat membawamu sejenak dari realita di sekitarmu. Terutama ketika kita membaca buku-buku fiksi fantasi yang membawa realita kita ke negeri antah-berantah atau sekedar padang rumput bersemilirkan angin. Saya menyukai membaca dan buku tentunya, yang selalu saya anggap harta yang berharga. Kemajuan teknologi, ebook, tak akan pernah menggantikan kertas-kertas krem buku yang darinya tercium aroma khas yang memesona, atau paling tidak hingga manusia berhasil menciptakan sensasi yang sama pada saat kita membaca ebook. Di tengah pikiran yang sedang berat atau hati yang tidak keruan, membaca adalah pilihan yang selalu menyenangkan. Terutama membaca Qur’an, baca saja dan anda akan merasakan ketenangan yang menjalar dari ubun-ubun kepala. Oleh karena itu jika anda melihat saya sedang bersedih hati atau bermuram ria, berikan saja saya sebuah buku yang menarik untuk dibaca atau tulislah sebuah tulisan dan biarkan saya membacanya. Buku, tak ayal lagi, adalah moodbooster kedua terbaik selain, ah tentu saja yang terbaik pertama, es krim coklat !
*)Cunningham, A.E. and K.E. Stanovich. (2001). What reading does for the mind. Journal of Direct Instruction, 1(2), 137-149.
Read More..