(sumber: cdn3.sbnation.com) |
Lupakan sejenak tentang pikiran alam sadar kita, tentang tempat di mana semua informasi yang bisa sepenuhnya kita akses serta kebanggaan atas kecerdasan-kecerdasan logika kita. Perhatikan diri kita pada sebuah cermin, tidak hanya padamuka-muka yang menampakkan kecantikan dan ketampanannya, tetapi lebih jauh masuk ke dalam, terdapat organ kenyal berwarna merah-jambu yang tersusun atas sel-sel yang mengatur dan beraturan, namun kompleks seperti alam semesta ini. Di pertengahan abad kedua puluh, para pemikir mulai menyadari bahwa sangat sedikit yang kita tahu tentang diri kita sendiri. Dan hal pertama yang kita pelajari dari seluruh untaian yang membangun siapa diri kita adalah sebuah pelajaran sederhana: Kebanyakan dari apa yang kita lakukan dan pikirkan dan rasakan tidak berada di bawah kontrol kesadaran kita. Segala hal yang kita sebut sebagai ‘kita’, kesadaran kita, merupakan sebagian kecil dari apa-apa yang dioperasikan oleh neuron-neuron yang saling bertautan membentuk sebuah organ-kenyal-merah-jambu.
Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Antoine Bechara dkk, mereka memberikan 4 buah dek kartu di mana para subjek diminta mengambil satu kartu dari keempat dek dalam satu kesempatan . Setiap kartu memiliki arti ‘mendapatkan uang’ atau ‘kehilangan uang'. Selang beberapa waktu, para subjek mulai menyadari setiap dek memiliki karakteristik, dua diantaranya berarti dek yang bagus (mendapatkan uang) sedangkan yang lainnya berarti dek yang jelek (kehilangan uang). Hal yang menarik adalah, para peneliti tersebut mengukur respon konduksi kulit, yang mencerminkan aktivitas saraf otonom manusia. Para peneliti melihat sesuatu yang menarik: sistem otonom menyadari karakteristik dek dengan baik sebelum alam sadar subjek menyadarinya, yaitu saat subjek akan mengambil dek yang jelek, ada aktivitas yang tercatat pada pengukur respon konduksi kulit yang menandakan sebuah tanda peringatan. Bagian-bagian tertentu otak subjek nampaknya menyadari adanya akibat dari mengambil suatu dek tertentu sebelum kesadaran subjek mengenai mana dek yang bagus atau buruk timbul. Subjek mulai memilih dek yang bagus sebelum mereka secara sadar mengetahui mengapa. Hal ini berarti pengetahuan yang kita sadari atau di alam sadar kita pada situasi tersebut ternyata tidak terlalu diperlukan untuk mengambil keputusan yang baik.
Beberapa studi lain nampaknya berkesimpulan bahwa keadaan atau respon tubuh sebagai bagian dari sistem otonom kita membentuk perasaan yang mempengaruhi bahkan membimbing pengambilan keputusan kita. Tanpa pernah kita sadari, insting bertahan hidup manusia mempengaruhi kondisi output yang terjadi pada tubuh. Ketika suatu kondisi yang buruk terjadi, secara otomatis otak kita mempengaruhi seluruh organ tubuh (denyut jantung, keringat, kontraksi otot, pupil mata, dsb) untuk menyimpan ‘perasaan fisik’ tersebut dan ‘perasaan’ ini kemudian diasosiasikan dengan kondisi yang sedang terjadi. Ketika suatu saat kondisi tersebut kembali terlintas di benak kita, otak secara otomatis menjalankan simulasi yang akan terjadi, membangkitkan kembali perasaan fisik yang kita alami sebelumnya dan kemudian perasaan tersebut atau praduga sebelumnya mempengaruhi keputusan yang akan kita ambil. Dengan kata lain, kondisi tubuh yang telah terekam sebelumnya menyediakan apa yang kita sebut sebuah firasat yang kemudian mempengaruhi sikap yang kita ambil. Sehingga seringkali, kita mengambil keputusan atau mengetahui apa yang harus dilakukan sebelum kesadaran kita sampai pada mengapa kita melakukan hal tersebut.
Jika kita tidak bisa selalu mengakses pengetahuan dari alam bawah sadar, kemudian bagaimana agar kita dapat mengambilnya? Idenya tentu saja sederhana untuk mengetahui apa yang firasatmu coba katakan. Jika suatu ketika kamu berada dalam dua pilihan sulit dan bingung apa yang harus dipilih, jentikkan sebuah koin ke udara. Setiap sisi koin mewakili pilihan yang hendak diambil. Hal yang paling penting adalah feeling saat koin mendarat di tanganmu. Jika secara misterius kamu merasakan perasaan lega pada hasil dari jentikan koin maka itulah pilihan yang tepat. Jika, sebaliknya, kamu merasakan suatu hal yang konyol dari hasil sisi jentikan koin, maka itu adalah pertanda bahwa sebaiknya kamu memilih opsi lainnya. Selamat mencoba !
Untuk yang ingin tahu lebih banyak:
Eagleman, D. (2011). Incognito: the secret lives of the brain. New York: Vintage Books
hmmm apakah kata hati berkaitan dengan intuisi.. apakah hal itu dibangun secara sadar atau sudah ada 'prototipenya terlebih dahulu?'
BalasHapusentahlah, mungkin kita perlu bersepakat terlebih dahulu mengenai definisi-definisi, seperti apa yang dimaksud dengan 'hati' itu sendiri, 'intuisi', 'perasaan', 'feeling', 'insting', 'naluri' dsb.
HapusTetapi satu hal adalah, pada tingkat yang paling mendasar respon kita terhadap suatu hal di sekitar kita selalu berkaitan dengan kecendrungan alami kita untuk survive (bertahan dan selamat). Sadar atau tidak sadar.
Berkaitan dengan tulisan di atas, terutama studi oleh Antoine Bechara, dkk., pengalaman ikut membentuk alam bawah sadar kita. Sebagai contoh, seorang ahli pasti lebih akurat memprediksi suatu hal yang akan terjadi dibandingkan orang awan.
Apakah 'kata hati' atau 'intuisi' diturunkan (sudah terprogram dari awal) atau dibangun secara sadar? Saya tidak bisa menjawabnya dengan jelas. Tetapi satu hal yang pasti adalah, kognisi kita selalu dibentuk dari dua hal: nature dan nurture.
kognisi memang selalu menarik untuk dibahas, latar belakang pekerjaan, pengalaman, usia, sedikit banyak menentukan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita putuskan. Thanks for the nice posting
BalasHapus