Sabtu, 06 Juni 2009

Mikir Nikah ??, nanti aja deh


Apa yang terlintas di benak teman-teman ketika membaca judul note ini? Tertarik untuk membaca lebih jauh pastinya. Buktinya kalian membuka dan membacanya hingga sejauh ini. Hehe.. Syukran ya.

Pernikahan. Sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan sering muncul di layar televisi sebuah adegan orang yang akan dibunuh memohon kepada lawan mainnya, “Jangan bunuh saya, saya belum menikah”. Apa hubungannya mau dibunuh dengan menikah? Kenapa dialognya tidak diubah, ”Jangan bunuh saya, saya belum hafal al-qur’an 30 juz”, atau dengan kalimat lain. Sebenarnya ada apa dengan menikah?

Ketika seseorang berbicara mengenai pernikahan dengan orang lain, biasanya reaksi yang muncul khas dan sangat spesifik, ”Cieee..... kiu kiu..yang mo nikah, sama yang itchuu ya? Si ”X” khan? Hohoho... Deuu, si akhi.. Gak usah malu-malu, biasa aza kalee.. Udah, sabet ajah, kasih proposal langsung. Ada nomor orang tuanya nich. Mau, mau, mau? Tapi jaman sekarang ud ga ada yang gratisan lho, hehe..”. Ada yang hanya tersenyum mendengar kalimat ini. Ada yang tersenyum namun dalam hatinya berkata, “Nih orang lebay banget sih, orang cuma mau tahu lebih banyak tentang pernikahan, koq nyambungnya ke mana-mana?” Namun ada juga yang jadi malu dan tidak mau lagi membicarakan pernikahan, bahkan menganggap pernikahan sebagai suatu hal yang tabu.


Berbagai macam paradigma beredar di masyarakat mengenai pernikahan yang dipersiapkan sejak dini. ”Saya gak suka sama orang yang apa-apa ngomongin nikah, seakan-akan hidup ini cuma buat nikah aja, PR dakwah kita masih bertumpuk. Masih banyak hal yang harus dirapikan. Masih banyak prestasi yang harus dikejar. IPTEK kita tertinggal, korupsi kita terdepan, masyarakat kita terbengkalai”. Ada juga tanggapan, ”Aduh kak, koq ngomongin nikah mulu sih, ngomongin tema yang lain kek, masih jauh saya mah dari nikah”. Malah ada juga yang bilang, ”Nikah dini? Mau ngempanin istri pake apa?”

Ada yang tanggapannya negatif, namun tidak sedikit yang bertanggapan positif. ”Masih ABG mikir nikah, why not?”. Ada juga yang bilang, ”Nikah dini? Orang tua saya aja nikah di usia 20 tahun, fine-fine aja tuh”. Bahkan seorang ustadz pernah berkata, ”Sebenarnya ya terserah kita mau berpikir tentang pernikahan sejak kapan. Apakah sejak sekolah, sehingga pola pikir kemandirian dan kedewasaan terbangun segera sehingga saat kuliah bisa berpikir mengenai tugas-tugas peradaban lainnya, atau mau berpikir nikah saat menjadi kakek nenek usia sudah 60 tahun. Terserah. Hanya saja saya lebih suka menikah dengan mereka yang penuh persiapan dan kesiapan sejak dini.”

Wah, sampai ada dua kubu gitu ya. Jadi pingin cerita dulu. Alkisah, hiduplah seorang laki-laki bernama X. Sebut saja nama bunga, Mawar misalnya. Pada waktu itu, ikhwan ini masih jauh berbeda dengan keadaan yang sekarang. Jangankan ngomongin dakwah, mentoring aja masih beginner. Ketika beliau masih duduk di bangku SMP, beliau menyukai seorang akhwat karena sosoknya yang (kata beliau) luar biasa. Keteduhannya, kedewasaannya, kompetensinya, kedalaman ilmu agamanya, kecerdasannya, dan lain sebagianya yang akhirnya membuat beliau kagum. Awalnya ikhwan ini tidak kagum dengan sang akhwat, bahkan cenderung bermusuhan (maklum anak SMP masih polos dan lugu). Namun seiring dengan berjalannya waktu, fitrah akan kekaguman kepada sesuatu yang baik pun muncul. Beliau suka dengan akhwat ini. Hampir setiap saat pikirannya selalu dipenuhi oleh akhwat yang satu ini. Untungnya ikhwan ini tahu cara penyikapan yang baik. Seperti perkataan seorang pujangga (cailah, pujangga..), ”Cinta itu seperti kupu-kupu, jangan dikejar, capek nanti. Mending diem, nanti juga hinggap sendiri. Fokus kita sekarang adalah mempercantik bunganya, supaya kupu-kupu ini tertarik untuk hinggap, bahkan mungkin dengan teman-temannya yang lain sehingga kita bisa memilih kupu-kupu yang terbaik. Inilah cara Allah mengabulkan doa, Ia akan memberikan yang terbaik untuk kita, bukan sekedar yang kita inginkan”. Berbeda dengan lagu, ”Ibu-ibu, bapak-bapak, siapa yang punya anak, bantu aku, aku yang yang sedang malu, sama teman-temanku, karena cuma diriku yang tak laku laku”. Makanya jangan fokus ngejar kupu-kupu, tapi percantik bunganya. Dasar wali murid! (atau wali kelas? Yang pasti bukan wali songo). Kalau mau dapet kupu-kupu cantik, jadilah bunga yang cantik. Coba hayati Q.S. 24:26 deh. Lagian jodoh kan sudah tertulis di lauhul mahfuz. Gak usah takut kehabisan stock. Baiklah, sekarang kita tinggalkan sang pujangga dan orang yang tak laku-laku menuju ke ikhwan yang kita panggil mawar. Ikhwan ini pun demikian. Karena keberadaan akhwat ini, mawar semakin ”mempercantik” dirinya. Mulai dari ilmu agama, ia perdalam. Kedewasaan ia pupuk. Dalam hal bersikap ia perbaiki. Mengajar ia jalani. Membina ia tekuni. Berbagai perlombaan ilmiah ketika SMA ia ikuti (dan sebagian besar ia menangkan). Uang hasil perlombaan pun ia kumpulkan. Untuk apa itu semua? Untuk persiapan mempersunting akhwat ini. Subhanallah ya? Sampai-sampai terkumpul jutaan rupiah. Bahkan ksatria berkuda putih ini sudah memasuki tahap ta’aruf dengan pihak keluarga sang akhwat, padahal waktu itu ia masih duduk di bangku SMA. Namun Allah sudah menakdirkan jalan lain. Sang akhwat keburu dilamar ikhwan yang lain, yang bukan mawar (sabar akhi, masih ada kami yang selalu menghiburmu, cep cep..). Ia pun kecewa dan sedih. Perjuangannya dari SMP hingga sekarang berakhir seperti ini. Tapi itu tidak membuat ia jatuh berlama-lama. Ia kemudian bangkit! Masih banyak akhwat yang lain brother! Tapi coba kita lihat, ikhwan yang satu ini sudah berubah. Dari yang tadinya bocah ingusan berubah menjadi bocah ileran (afwan salah ketik, disengaja. Maksudnya, ikhwan dewasa). Bahkan ikhwan lain (sebut saja nama bunga yang lain, melati misalnya) berkata, ”Ini baru keren! Konkrit! Kalo gak siap, enggak sekalian. Kalo iya, maju terus pantang mundur. Ane suka yang kayak gini!”. Dan apakah perubahan positif yang menggiringnya pada kedewasaan, kematangan, dan kesiapan menuju pernikahan itu hilang hanya karena Aisyahnya hilang? Tentu tidak, itu semua bersifat ireversibel. Ok, teman-teman telah melihat hikmah dari mempersiapkan pernikahan sejak dini : Kedewasaan. Btw, afwan kalo ceritanya agak beda, maklum temanmu yang satu ini memang agak pelupa, he..

Nah, fenomena yang berkembang di lingkungan kita justru unik. ”Nikah mah nanti aja, belajar untuk meraih kedewasaannya bisa didapat dari pacaran. Kan di sana kita belajar untuk berinteraksi dengan pasangan, belajar memberi, belajar saling percaya, dll”. Helloooo?? What on earth is going on? Kalian pasti tahu efeknya pacaran. Mulai dari hukuman bersentuhan tangan yang dalam hadits dikatakan lebih buruk dari ditusukkannya besi di kepala, pranata sosial, virus gutsal, kecenderungan free sex, penyakit menular karena seks, married by accident, dll. Pasti tahu lah tentang yang satu ini, katanya anak UI, masa beginian aja gak tahu, hehe.. piss..

Yah, memang biasanya kalau berbicara mengenai pernikahan, sering dihubungkan dengan efek preventifnya yang positif dari berbagai macam kemaksiatan. Kan kata ustadz, kalau nafsu kita sedang tidak terkendali, maka puasalah. Kalau sudah siap, menikahlah. Tapi yang ingin dibahas di sini bukan aspek itu. Penulis membuka kesempatan kepada rekan-rekan sekalian untuk menulis artikel dengan tema yang sama, namun dari penekanan aspek yang berbeda. Seperti yang diulas di awal, aspek kita sekarang kedewasaan ya.

Fiuh, kedewasaan. Berat ya? Sekarang penulis ingin bertanya kepada pembaca semua yang masih setia mengikuti tulisan ini. Pernahkah kalian melihat kenakalan remaja? Remaja berkelahi misalnya. Atau pelajar tawuran. Pernahkah kalian melihat konser musik yang di dalamnya terdapat kericuhan antar pengunjung, bahkan memakan korban jiwa? Atau kampanye partai politik yang sesama simpatisannya malah berkelahi? Buat yang anak kosan (atau anak rumahan juga bisa), pernahkah kalian mendengar suara-suara gitar di malam hari, yang dimainkan oleh para pemuda kebanyakan, sementara kalian sedang berkonsentrasi untuk menempuh ujian keesokan harinya? Tidakkah kalian terusik?

Itu hanya sebagian contoh dari permasalahan umat saat ini. Kurangnya kedewasaan. Kedewasaan tidak berarti harus bersikap berwibawa, idealis, perfeksionis, berkharisma, dan sebagainya, tapi cukup bersikap sewajarnya dan hindari hal yang sekiranya tidak diperlukan. Bukankah kenakalan remaja disebabkan pola pikir mereka yang sempit, yang tidak mengarah ke masa depan? Bukankah hedonisme muncul karena masalah pernikahan digampangkan? ”Ah, masih muda ini. Senang-senang aja dulu..” Dan bukankah belajar kita akan lebih tenang jika tidak ada yang berisik di malam hari, jika semua memikirkan pernikahan sejak dini? Untuk menjadi dewasa terkadang butuh motivasi, dan pernikahan adalah salah satu motivasi seseorang untuk berubah menjadi lebih dewasa. Bukan satu-satunya, melainkan salah satunya.

Inilah pernikahan kawan, atau lebih tepatnya persiapan menuju pernikahan. Tanggungjawab, kemandirian, kematangan, kedewasaan, dan kompetensi yang semakin cemerlang (seperti kisah mawar) akan timbul dengan sendirinya karena proses persiapan ini. Saya dari tadi ngomongin persiapan pernikahan dan memikirkan pernikahan kan? Bukan mengompor-ngompori untuk segera menikah kan? Memikirkan nikah bukan hanya untuk nikah itu sendiri, namun untuk berjuang mempersiapkan bekal untuk menuju ke sana. Karena memang persiapannya yang harus kita garis bawahi kawan. Bayangkan, ketika semua pemuda pemudi Islam memikirkan dan mempersiapkan pernikahan sejak dini, tidak akan ada yang bilang bahwa kita adalah buih di tengah lautan. Tidak akan ada lagi pemuda-pemudi yang sibuk dengan hal yang tidak penting. Tidak akan ada lagi kemubaziran waktu. Kita akan mengarus kawan, bukan terbawa arus. Kita akan bersinar kawan, bukan justru silau karena cahaya orang lain. ”Ah, seakan-akan hidup ini cuma buat nikah aja”. Eits, emang bukan nikah tujuan hidup kita. Tapi jelas, Allahu ghayatuna. Allah tujuan kita. Dengan menikah maka akan ada orang yang akan meringankan beban perjuangan kita. Akan terlahir generasi qurani yang akan meneruskan estafet perjuangan dakwah ini. Bahkan kalau bisa setangguh dan semilitan generasi sahabat, subhanallah. Pernikahan memang hal kecil, yang akan kita tujukan untuk hal besar. Namun ketika semua orang memikirkan hal kecil ini sejak dini, maka masyarakat yang madani dan islami, kebangkitan islam, dan kejayaan umat muslim sudah ada di depan mata, sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. Allahu akbar! Inilah skenario indah dari persiapan nikah sejak dini.

Kalau mau tahu tentang nikah dan persiapannya lebih jauh, baca aja buku yang sudah banyak beredar di toko buku. Mereka menunggu untuk dibaca lho. Penulis juga ingin menekankan bahwa dewasa itu relatif, semua ada kadarnya. Setidaknya berani untuk memulai kedewasaan adalah hal yang baik. Jika belum bisa untuk bersikap dewasa, setidaknya berpikir dewasa. Penulis sendiri masih belum terbilang dewasa. Tapi bukankah dengan adanya kemauan itu lebih baik daripada tidak ada kemauan untuk berubah sama sekali? Mikirin nikah sejak dini, kenapa enggak?

Artikel ini 99.99% penulis tunjukkan untuk diri pribadi sebagai pengingatan bahwa menjadi tua adalah sebuah kepastian. Namun menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Yang benar datangnya dari Allah, yang salah datangnya dari hamba pribadi.

Wallahu alam bish shawab.

oleh: eko_al_fath


2 komentar:

  1. Assalammu'alaikum..
    Nikah dini? Well, it's a choice..
    Jzk.
    Ganbatte! Mau nanya, foto di profil gambarnya L ya?

    BalasHapus