Rabu, 25 Desember 2013

Saya (tidak) berbicara mimpi lagi.

(sumber: lockerz.com)
Saya pernah melihatnya, mungkin kamu juga, tentang cerita-cerita manusia yang digerakkan secara luarbiasa oleh mimpi. Mereka memimpikannya, memercayai keindahan mimpi-mimpinya, menggerak memujudkan hingga merubahnya menjadi sesuatu yang nyata. Mimpi, impian, cita yang kemudian terwujud nyata, dan mengakhiri dengan bahagia. Akhir bahagia.

Demikian dan sayangnya tidak berlaku sedemikian untuk semua orang.

Kita mengenal ada dua jendral besar dalam sejarah manusia. Keduanya bermimpi tinggi, bervisi besar, dan tergerakkan secara luarbiasa oleh mimpi-visi mereka. Dari keduanya kemudian kita belajar, alur besar takdir dalam aliran waktu dunia sudah digoreskan. Mimpi-mimpi mereka sama hanyut dalam alirannya, namun takdir hanya memeluk mimpi yang sudah digariskan padanya.
 

Dia seorang Habasyah yang kemudian menjadi Jenderal di Yaman. Mimpinya besar, membangun pusat peribadatan terbesar di kawasan timur tengah, bahkan dunia di daerah Yaman. Pusat peribadatan di mana seluruh umat manusia akan mengalihkan kiblat padanya. Mimpi besar perlu usaha-usaha besar mewujudkannya, dan Jenderal yang kemudian dikenal sebagai Abrahah tahu, satu-satunya cara untuk mewujudkannya adalah dengan meluluh-lantahkan Ka’bah. Dan Abrahah melakukan kerja-kerja besar, memimpin pasukan gajah yang menggentarkan untuk menghancurkan pusat peribadahan yang bangun oleh Ibrahim AS. Hingga pada akhirnya kita sama-sama tahu, kisahnya diabadikan khusus pada satu surat dalam Al Qur’an, dibaca oleh seluruh umat Islam sejak diturunkannya. Al Fiil.

Sementara itu, terjarak sekitar 800 tahun lebih, kita memiliki Jenderal yang mewarisi mimpi besar para pendahulunya. Tergerakkan oleh mimpi besar, menaklukan sebuah kota yang sudah dijanjikan, Jenderal ini menggapainya dengan gemilang. Kerja besarnya bahkan sudah dimulai semenjak kanak-kanak, menempa ilmu pada salah satu alim terbaik di masanya, Syaikh Aaq Syamsudin. Menjadikannya sebagai yang disebutkan dalam sabda Muhammad saw., kita semua kemudian mengenalnya sebagai Muhammad Al Fatih. Sang Pembebas.

Dua jenderal besar, dengan mimpi besar dan ikhtiar-ikhtiar terbaik, terlepas dari siapa salah dan benar, salah satunya gagal dan kalah, sementara lainnya berhasil dan berjaya. Dalam pusaran sejarah umat manusia kita belajar, di sisi pemenang, selalu berdampingan mereka yang kalah. Menang-kalah, berhasil-gagal, berjaya-terhina adalah koin dua sisi, satu sama lain berdamping tidak terpisah, menjadi paket kehidupan yang menggelinding melaju bersama waktu. Hingga pada akhirnya kita sama-sama memahfumi, di ujung usaha-usaha manusia selalu terbaring dua kemungkinan.

Yang pada akhirnya kita harus menjemputnya jua.

Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang ada di ujung jalan-jalan yang kita pilih, diakhir usaha-usaha demi mimpi. Adakah sukses membahagia di sana? Atau justru derita menestapa siap memeluk kita yang datang. Ragu dan malah berhenti di tempat tidak menyelesaikan apa-apa. Sementar kita meragu, tanpa tersadar, waktulah yang membawa kita pada ujung akhir perjalanan. Mimpi-mimpi, sayangnya, tidak melulu harus tergapai. Pada ujung-ujung takdir, mimpi kita mungkin tak akan selalu gemilang. Hasilnya bisa jadi tetap sama, bersinar gemintang atau kelam meredup, tetapi bagaimana kita menuju padanya yang memberikan perbedaan besar di antaranya. Adalah hal yang sangat berbeda, maju naik ke atas arena pertandingan dengan kepala tegak dan maju diseret masuk ke dalam arena. Karena, berkahnya bisa jadi ada pada prosesnya, ada pada tiap cara kita menggapainya. Karena hikmahnya, bisa jadi bukan di akhir cerita, melainkan di tengah, di sepanjang perjalanan. Hal yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah, jalan mana yang akan kita ambil?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar