Sabtu, 07 April 2012

Berbagi Cinta

”Andai saja kami tetap anak-anak dan tidak pernah menjadi dewasa”

Demikian Qais bin Maluh mengandaikan dalam salah satu syairnya setelah terpisah dengan Laila, cinta masa kecilnya. Qais adalah seorang pemuda tampan nan pintar, berasal dari keturunan Bani Amir dan merupakan seorang yang cerdas dan tekun. Kita mungkin lebih banyak mengenal kisahnya dalam cerita “Laila dan Majnun”, sebuah karya sastra besar yang jauh lebih tua dari kisah “Romeo dan Juliet”-nya William Shakepear dan ditulis oleh seorang sufi asal Persia, Nizami Fanjavi. Kisah roman yang menginspirasi begitu banyak penulis untuk merekam cerita cinta dalam pena-pena mereka. Tak dapat dipungkiri, cinta Qais begitu menggebu dan hal tersebut ternyata disambut oleh Laila yang berasal dari kabilah yang berbeda. Sayang disayang, cinta mereka tertolak oleh perseteruan dua kabilah ini dan selanjutnya kita tahu bagaimana Qais melantunkan begitu banyak syair-syair cinta atas kisahnya dan mulai terobsesi hanya kepada Laila. Dikisahkan bagaimana Qais menjadi gila, bersyair di alam bebas dengan tidak memakai pakaian yang menutupi tubuhnya.

Dan begitulah ketika cinta yang tak berbagi, yang ada adalah perasaan yang bahkan menguasai pikiran dan raga. Setidaknya demikian bagi Qais, pecinta yang begitu putus asa akan cinta. Dan cinta yang tak terbagi ini, meluap, menguasai dan berubah menjadi sesuatu yang membenarkan segala hal sekaligus menyalahkan segala hal lainnya. Pertemuan fisik tak terpenuhi dan apadaya hati hingga pikiran pun tergadaikan, kehidupan serasa penderitaan. Dan mengapa cinta ?

Cinta di atas cinta
Adalah seorang parsi, sahabat Rasulullah saw, yang merasakan cinta kepada seorang wanita sholehah Anshar. Kegalauan menyelimuti pemuda ini, bagaimana tidak, dia adalah seorang Persia, seorang yang berasal jauh dan asing dari Madinah, tempat wanita sholehah ini tumbuh dan meniti kedewasaan. Namun disampaikannyalah kepada seorang saudara yang dipersaudarakan oleh Rasulullah saw, dalam jalinan tali Islam, kepada Abu Darda. Kemudian, mahar pun disiapkan, strategi serta mental dan kedua pemuda ini pun bertamu ke rumah wanita tersebut.
“Saya adalah Abu Darda dan ini saudara saya, Salman, seorang Parsi. Kami telah dipersaudarakan atas nama Allah. Dia telah dimuliakan Allah dengan Islam dan dia juga memuliakan Islam dengan amalan dan jihadnya. Di sisi Rasulullah, dia punya tempat yang mulia, sehingga baginda menyebutnya sebagai ahli-bait baginda. Dan kedatangan saya adalah mewakili Salman untuk melamar puteri sholehah dari rumah ini.”

Lamaran ini pun disambut oleh tuan rumah dengan menyampaikan bahwa hak untuk menerima dan menolak lamaran ini adalah pada anaknya yang bersembunyi di balik hijab dengan debaran hati yang membuncah. Hingga, sang Ibu berucap mewakili sang anak,
“Maafkan kami atas kejujuran kata dalam jawaban ini. Dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa puteri kami menolak lamaran Salman. Akan tetapi seandainya Abu Darda turut mempunyai hasrat yang sama seperti Salman, puteri kami menerimanya.”

Alamak !, apakah yang terpikirkan dalam benak, ketika tambatan hati yang dilamar justru meninginkan sahabat yang mendampingi. Marah, kesal, galau ? Tidak bagi Salman, yang menjawab,
“Allahu Akbar !, dengan mahar dan segala yang telah saya sediakan ini akan saya serahkan kepada sahabat saya Abu Darda untuk pernikahan kalian. Dan saya akan menjadi saksi bagi pernikahan mulia ini.”

Dan dalam sejarah ini, cinta juga tidak terbagi, ada maksud yang tidak tersampaikan dan keinginan yang tidak terpenuhi, namun berakhir dengan ujung yang jelas sangat berbeda dari roman Qais dan Laila. Inilah cinta yang membangun dengan bangun cinta dan bukan menjatuhkan dengan jatuh cinta. Cinta di atas cinta, cinta yang jauh melebihi cinta yang diciptakan fitrah untuk setiap insan di dunia. Cinta di atas cinta, yang tidak terbagi hanya untuk Allah dan Rasul-Nya, cinta syari’i yang sudah seharusnya dimiliki setiap muslim. Cinta ini begitu terang dan hangat menampakan jelas jalan kebenaran. Maka tidaklah cinta fitrah yang didorong syahwat yang menguasai, tetapi cinta Ilahi yang menentramkan.



Berbagi cinta sepanjang hayat
Lelaki mulia ini berada dalam kondisi terlemah, sakit sudah meliputi seluruh tubuhnya selama berhari-hari. Terbaring dalam pangkuan istrinya, dengan ditemani anak perempuan dan menantunya, lelaki ini tampak menghadapi akhir masa-masa tugasnya. Detik-detik akhir mendekat seiring malaikat maut menjalankan tugasnya, perlahan dengan kehati-hatian ruh dari lelaki mulia ini mulai ditarik. Seluruh tubuhnya dibanjiri peluh dan keringat, urat-urat lehernya menegang. Anak perempuannya terpejam dan menantu yang disampingnya menunduk semakin dalam. Terdengar kemudian, lelaki mulia ini terpekik tertahan, “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.” Tubuhnya beranjak dingin, bibirnya bergetar hendak membisikan sesuatu, Ali menantu kesayangannya mendekat ke telinganya, “peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu rumahnya, isak tangis mulai bersahutan, para sahabat yang mendampinginya dengan setia saling berpelukan, kesedihan menyeruak menggelayuti langit akan kepergian seorang mulia ini. Putrinya, Fatimah, menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah saw yang mulai kebiruan, “umatku, umatku, umatku.”

Cinta mana lagi yang sedemikian besar hingga bahkan sebelum nafas terakhir terhembus, orang-orang yang bahkan lahir jauh setelah kematiannya masih disebut-sebut olehnya saat menjelang kematian. Dan inilah Rasulullah saw, berbagi cinta sepanjang hayat, cinta yang sedemikian besar hingga bahkan kita yang hidup di masa kini dapat merasakan cintanya melalui ajarannya, perkataannya, sikap dan karakternya yang terus disampaikan dan terjaga dari masa ke masa. Dan berbagi cinta bukanlah hal sesepele “aku cinta padamu” dan “aku akan menikahimu.” Berbagi cinta bukan pula sekedar memiliki sang penggenap hati dan menjalani hidup bahagia bersama. Cinta menjadi kekuatan positif yang sedemikian besar ketika dibagi oleh hati yang ikhlas, seperti cinta keluarga Ibrahim as., cinta yang membangun peradaban. Maka berbagi cinta adalah membangun cinta dalam ketaatan hingga menjulang tinggi ke surga, sepanjang hayat, di jalan cinta-Nya.

Teriring cinta,



Tidak ada komentar:

Posting Komentar