“If we’re growing, we’re always going to be out of comfort zone” (John Maxwell)
10 Juni 2011
Narita, here we comes. Tujuh jam kurang lebih saya beradadi udara dengan menaiki pesawat Garuda GA884 tujuan Tokyo. Setelah sebelumnya bertemu dengan salah satu dari dua yang diundang ke Tokyo, Lestian, tepat saat check in pesawat. Jika anda menemukan seorang pemuda sendirian, seumuran mahasiswa dan menaiki pesawat yang sama maka anda akan mudah menyimpulkan bahwa pemuda tersebut adalah teman setujuan. Dan benar saja, ketika akan memasuki pesawat, kami menemukan satu lagi mahasiswa yang menjadi peserta AMSTECS, mahasiswa UI berasal dari Palembang bernama Surya.
Bandara Narita, berlokasi di Narita, merupakan salah satu dari dua bandara utama di Jepang, selain bandara Haneda. Bandara Narita memiliki dua terminal yang dihubungkan dengan shuttle bus dan kereta. Penerbangan Garuda kami mendarat di terminal dua kurang lebih pukul 09.00 waktu Tokyo. Penumpang tidak langsung masuk ke main building (honkan) bandara Narita, namun masuk ke satellite building terlebih dahulu. Kedua bangunan dihubungkan oleh terminal 2 shuttle system, berupa kereta monorel tanpa masinis. Terlihat pada dinding kereta terdapat tulisan yang berisi permohonan maaf mengenai lampu di dalam kereta karena adanya penghematan listrik. Hal ini memang terjadi setelah bencana di Fukushima. Kehilangan reaktor nuklir tentu mengakibatkan berkurangnya pasokan energi bagi Jepang, mengingat negara ini tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Setelah melalui proses disembarkasi, kami disambut oleh dua mas-mas panitia, yaitu mas Fithra dan mas Aisar. Bersama dengan rombongan dari RRI Jakarta, kami berangkat dengan menaiki Airport Limousine Bus dengan fare sebesar 3000 yen menuju Hotel Prince Park Tower Tokyo. Meskipun harus membayar sendiri dahulu, uang kami diganti setelahnya. Selama perjalanan, memang terlihat perbedaan mencolok dengan jalan di Ibu Kota Indonesia. Jalan lengang dan tak banyak mobil dengan pemandangan menarik di sisi kiri dan kanan. Satu hal lagi yang saya perhatikan adalah saya tidak menemukan motor di Jalanan Tokyo. Kalaupun ada, hanya sedikit motor matic yang lalu lalang atau motor gede sekalian. Sekelas motor-motor bebek di Indonesia, anda akan putus asa mencarinya. Sampai di Hotel Prince Park Tower Tokyo kami menaiki taksi menuju tempat penginapan kami yang sebenarnya di Hotel Asia Center Japan,daerah Roppongi. Hal yang menarik bahwa taksi di Jepang dilengkapi dengan GPS, berupa peta digital dan juga dilengkapi dengan semacam buku penunjuk jalan sebagai senjata penjawab tujuan penumpang oleh para supir taksi. Taksi di sana cukup mahal karena ongkos awalnya saja sudah sebesar kurang lebih 710 yen.
Such a Sudden Presentation
Tiba di hotel, langsung saja saya rebahkan badan ini di kasur empuk hotel. Namun, tidak bisa berlama-lama karena pukul 14.00, kami harus berangkat lagi ke lokasi acara di GRIPS (National Graduate Institute for Policy Studies). Setelah rapi-rapi hingga pukul 14.30, dan ternyata kami tertinggal dari rombongan RRI yang kebetulan menginap pada hotel yang sama. Beruntung, ada mas Aisar yang datang dan mentraktir kami bento1 yang dibeli di FamilyMart2.
Kurang lebih 5-10 menit berjalan dari Hotel, kami tiba di TKP, yang bersebelahan dengan National Art Museum. Langsung menuju meja registrasi dan saya tidak menemukan nama saya di daftar participant. Masya Allah, malah saya menemukan nama saya berada di list invited speaker. Memang status saya dan Lestian adalah undangan karena berhasil sebagai dua besar SINNOVA, namun tidak menyangka saja menjadi masuk dalam list invited speaker. Memasuki hall utama GRIPS, tengah berlangsung plenary session dengan pemateri dari seorang professor asal India, Prof. Dr. Govindan Parayil, dan Prof. Dr. Sunami Atsushi, associate professor dari GRIPS yang masing-masing berbicara dengan tema besar sistem inovasi.
Di tengah presentasi berlangsung, tiba-tiba seorang panitia, mas Abdurrohman, memberitahu kami untuk bersiap presentasi proposal penelitian kami di depan reviewer di tempat yang berbeda. Jreeeng, waw, langsung saja saudara-saudara, tanpa berpikir macam-macam, dengan persiapan singkat, saya, the lucky number one, menuju ruangan yang digunakan penilaian presentasi proposal SINNOVA kami. Presentasi singkat di depan tiga reviewer yang ternyata dari Indonesia, mengingatkan kembali pada seminar hasil penelitian 4 hari sebelumnya. Bermodalkan bahasa Inggris yang cukup pas-pasan, terabas saja semua tantangan yang ada. Bismillah, Allah bersama orang-orang yang sabar.
Indonesia Culture Night
Mengangkat tema “with love for Japan”, acara malam ini diisi dengan persembahan seni budaya Indonesia dan juga sebagai ajang charity untuk korban bencana tsunami kemarin. Diawali dengan tarian Bali, dibawakan dengan anggun oleh mahasiswa asal Indonesia yang studi di Jepang. Kemudian dilanjutkan lagu, Mahadewi dan Kuyakin Cinta sebagai pemanasan awal acara berikutnya. Kemudian ada pertunjukan Tari Piring yang dibawakan oleh mahasiswa asal Indonesia dan pertunjukan pencak silat yang menariknya, tidak hanya dibawakan oleh orang Indonesia, tetapi juga orang asing yang ikut belajar pencak silat. Acara akhirnya ditutup dengan sesi foto bersama peserta yang hadir saat itu.
[foto-foto]
Begitulah, dan hari pertama diakhiri dengan santapan malam, berupa bento. Oh iya, hari pertama ini saya berkenalan dengan anak-anak ITB, yaitu syafiq, surani, dan ega, hopefully I can meet you again guys. Dan berjalan lagi di sepanjang Tokyo Midtown, menuju Hotel.
Catatan-catatan:
1. Bento merupakan semacam nasi kotak di Indonesia. Biasanya bento berisi nasi, ikan atau daging, dan beberapa potong sayuran.
2. FamilyMart merupakan supermarket franchise yang ada di Jepang, dan termasuk tiga besar toko franchise yang ada di Jepang, selain 7-Eleven, dan Lawson. FamilyMart biasa disebut ‘Famima’ atau ‘Famirimato’ oleh orang Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar