Minggu, 19 Juni 2011

Steps in Tokyo #5 : Last Day

“To love is to risk not being loved in return. To hope is to risk pain. To try is to risk failure, but risk must be taken because the greatest hazard in life is to risk nothing.” (Anonymouos)

14 Juni 2011
Hari ini adalah hari terakhir kami berada di Tokyo. Sarapan singkat di Hotel, kami beranjak ke stasiun Roppongi pukul 07.30. Rencana hari ini kami akan berangkat ke Narita dengan naik kereta. Dari stasiun Roppongi kami menuju stasiun Hibya, selanjutnya berjalan kaki sebentar menuju stasiun Yurakucho. Dari stasiun ini kami naik Tokyo-JR dan menuju stasiun Nippori. Dari Nippori inilah kami selanjutnya akan menaiki Narita Skyliner, kereta shinkansen yang terkenal itu. Berbeda dengan stasiun pada umumnya, stasiun tempat pemberangkatan Skyliner memang terlihat lebih bagus dari stasiun pada umumnya. Di stasiun ini ternyata kami bertemu dengan Dini dan Ajeng, dan berangkat bersama menuju Narita.




Bandara adalah tempat terakhir jika anda ingin membeli souvenir sebelum pulang ke tempat asal. Harga di sini ternyata tidak berbeda dengan harga jika kita membeli di tempat lain. Karena biasanya harga-harga barang yang ada di bandara pasti lebih mahal dibandingkan dengan harga pada umumnya. Jadi sebenarnya, jika anda ingin membeli souvenir cukup beli di bandara Narita saja, cukup lengkap dengan harga yang tidak berbeda dengan harga pada umumnya. Tempat terakhir untuk saat ini, dan kaki ini kembali melangkah masuk ke pesawat Garuda GA885.

“Merantaulah ke negeri orang, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan”. Kata-kata tersebut ada pada buku Ranah 3 Warna yang saya baca selama di Pesawat. Sebuah kata-kata dari Imam Syafi’i, begitu memotivasi untuk bisa mencari ilmu hingga ke negeri jauh.

“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”


Kembali saya bulatkan tekad, tujuan sudah ditentukan, visi sudah terlihat, maka segenap energi akan dikerahkan untuk mencapainya. Berjuang, ganbareba dekiru! (berjuanglah, pasti bisa!).


Read More..

Steps in Tokyo #4 : Tokyo Trip !!

“The World is a book, and those who do not travel read only a page.” (St. Augustine)

13 Juni 2011
Sarapan ngebut, kami langsung menuju stasiun Roppongi agar tidak terlambat sampai di Shibuya. Dengan membeli one day ticket1 kereta Metro, kami menuju Aoyama-itchome, kemudian berpindah jalur menuju Shibuya. Stasiun ini sangat ramai oleh warga Jepang yang akan beraktivitas hari ini. Berkumpul di sini, dan kami yang ikut adalah saya, Lestian, Ega, Dini, Ajeng, dan mba Sri. Ancha akan menyusul ikut setelah ikut kuliah terlebih dahulu. Sayangnya Surani terhambat keretanya karena ada orang yang melakukan jujitsu2 dengan menabrakkan diri ke kereta, sehingga pada akhirnya jadwal kereta menjadi terhambat. Alhasil, beliau tidak jadi ikut rombongan kami keliling Tokyo.

Sebelum berangkat, kami mempersenjatai diri terlebih dahulu dengan membeli onigiri3 sebagai bekal perjalanan. Pemandu kami hari ini adalah Ega, exchange student dari FK Hewan UGM, saat ini berada di Saga University. Diawali dengan membeli one day ticket kereta Tokyo-JR, seharga 750 yen, kami bergerak menuju stasiun Tokyo. Di sini kami menuju lokasi pertama yaitu Tokyo Imperial Palace. Sebelum sampai di Istana Kekaisaran, kami melewati Wadakura Fountain Park, sebuah taman yang didirikan untuk memperingati pernikahan kaisar Akihito dan permaisuri Michiko. Banyak obyek menarik pada taman ini, dan tentunya spot untuk foto-foto.




Istana dan Onigiri

Istana kekaisaran Tokyo merupakan tempat tinggal utama keluarga kerajaan, terletak di daerah Chiyoda, Istana ini terdiri dari beberapa bangunan, seperti istana utama (kyuden), kediaman keluarga kerajaan, taman-taman, serta pusat administrasi. Istana ini memiliki beberapa pintu gerbang, namun sayangnya saat kami berada di sana, tidak dapat masuk ke dalam. Di sepanjang pinggiran jalan Istana kami menemukan jejeran pohon sakura yang sedang tidak berbunga saat ini. Setelah itu kami beristirahat sebentar sambil menikmati onigiri yang kami bawa. Berjalan keliling sebentar, kemudian kami kembali ke stasiun Tokyo dan menuju Ueno, untuk melihat-lihat pasar yang ada di sana.




Akiba : Japan’s Mangga Dua

Di Ueno kami sempatkan untuk makan siang di kedai kebab orang Turki. Setelah kenyang makan, kami bergerak mencari mushola, dan sampailah pada Assalam Masjid. Di sepanjang perjalanan, kami menemukan kuil dengan taman di depannya. Banyak burung merpati jinak yang berkeliaran di taman tersebut. Setelah shalat, kami menuju Akihabara, pusat penjualan elektronik yang ada di Tokyo.

Di sini, kami sempat mencari beberapa souvenir yang menarik untuk dibawa pulang, dengan kisaran harga 300 yen ke atas. Ancha akhirnya menyusul kami tiba di Akiba, pusat perbelanjaan elektronik yang ada di Akihabara. Kemudian ancha mengajak kami untuk ke Laoks, salah satu tempat penjualan souvenir juga, namun agak lebih lengkap dari yang ada di Akiba. Kasir di Laoks, ternyata orang Indonesia, dan kami sempat mengobrol sebentar dengan beliau. Setelah puas berbelanja dan melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan menuju Harajuku.




Harajuku’s style: the lost identity

Harajuku merupakan salah satu pusat fashion terkemuka di Jepang. Di sini tujuan kami adalah Daishi shop, Toko 100 yen-an, menjual berbagai macam barang seharga sekitar 105 yen. Tidak banyak hal spesiel di Harajuku pada hari ini, karena bukan hari weekend, yang biasanya banyak para anak muda Jepang berdandan ‘aneh-aneh’.
Well, meskipun demikian, beberapa pelajaran menarik yang bisa saya dapat di sini. Mudah sekali kita menyimpulkan bahwa arus budaya barat tertanam kuat di sini. Saya pikir gaya hidup seperti ini bukanlah asli kultur masyarakat Jepang. Dengan segala moderinitas di sana-sini, saya melihat kekeringan aspek spritualitas. Tingginya angka bunuh diri menjadi salah satu tanda, tekanan hidup yang tinggi hanyalah sebuah pemicu namun dibalik semua itu, penilaian hidup hanya berdasarkan materi semata membuat orang kurang dapat menghargai hidup itu sendiri. Ada identitas yang hilang dari para pemuda Jepang di sini. Entahlah, tapi saya tidak dapat melihat kultur Asia khas Jepang di sini.
Jalan di Harajuku

Tokyo Tower dan Tempura4

Dari sini kami berpisar dengan rombongan perempuannya, karena mereka sudah ke menara Tokyo sebelumnya. Kami bertiga, Saya, Ancha, dan Lestian menuju menara Tokyo yang terkenal itu. Sampai di sana, matahari sudah mulai menggantung rendah di ufuk barat. Kami sempatkan foto-foto sebentar kemudian kembali lagi ke stasiun. Malam ini Ancha berniat mentraktir kami tempura di daerah Shinjuku. Setelah shalat di mushola dekat lokasi, kami bergerak menuju restoran yang dituju. Di sini kami bertemu dengan seorang mahasiswa asal Indonesia dan memutuskan untuk makan bersama. Jujur saja, satu porsi tempura tidak lah sedikit, kami menghabiskannya dengan sangat kenyang.

Hari ini diakhiri dengan kaki pegal-pegal dan perut kenyang. Kami berterima kasih kepada Ancha yang sudah mentraktir kami. Kembali menaiki kereta dan berpisah di stasiun Tochomae, saya berkata suatu saat nanti, saya lah yang akan mentraktirnya di sini. Ini adalah harapan dan cita, suatu saat nanti saya akan merantau ke negeri orang, tidak berdiam diri di negeri sendiri.





Catatan-catatan:
1) one day ticket merupakan satu tiket khusus dimana kita bisa menggunakannya berulang kali dalam satu hari itu untuk berkeliling Tokyo.
2) jujitsu atau bunuh diri, terdapat kepercayaan bahwa mereka yang bunuh diri dengan menabrakan diri ke kereta biasanya memiliki masalah keluarga, karena pihak keluarga nantinya harus membayar ganti rugi akibat terganggunya jadwal kereta karena peristiwa bunuh diri tersebut.
3) onigiri merupaka makanan khas Jepang berupa nasi yang dipadatkan sewaktu masih hangat, berbentuk segiriga, bulat, atau seperti karung beras. Onigiri biasa dilapisi dengan rumput laut dan berisi ikan salmon panggang atau Umeboshi
4) tempura adalah makanan khas Jepang berupa makanan laut atau sayur-sayuran yang dicelup pada adonan berupa tepung dan digoreng hingga renyah.


Read More..

Steps in Tokyo #3 : Closing remarks

“Opportunity follows struggle. It follows effort. It follows hard work. It doesn't come before.” (Shelby Steele).

12 Juni 2011
Hari ketiga di Tokyo dan rencana hari ini adalah kami berkunjung ke tempat mas Aisar terlebih dahulu di Yokohama. Dengan ditemani syafiq, ini adalah pengalaman pertama menjelajah kota Tokyo dengan kereta. Berangkat dari hotel pukul 06.00, kami tidak menyempatkan diri untuk sarapan di hotel terlebih dahulu. Berjalan kembali di sepanjang Tokyo Midtown, ada saja objek menarik untuk difoto atau untuk foto-foto, daerah ini memang dipenuhi bangunan dengan konsep artistik. Saya terkesima dengan jalan yang bersih dari sampah dan cuaca yang sejuk. Menuju stasiun subway Roppongi, saya tidak melihat adanya jejeran parkiran motor, namun sepeda yang dirantai rapi pemiliknya di sepanjang pagar jalan.

Menaiki Metro Subway dengan ongkos 170 yen, kami bergerak menuju stasiun Daimon untuk pindah jalur ke Asakusa line. Anda jangan membayangkan kereta di sana sama dengan kereta di Indonesia, tentu saja berbeda jauh. Bersih, tepat waktu, dan tidak ada pengamen atau orang yang berjualan. Dari Daimon menuju Sengakuji, pindah kereta menaiki Tokyo-JR. Bergerak terus, walaupun sempat salah kereta karena menaiki kereta yang berhenti di setiap stasiun, kami melaju ke arah Yokohama, tepatnya berhenti di stasiun Kamiooka. Salah satu keuntungan naik kereta di sini adalah kita bisa bayar karcis kereta belakangan. Pada awalnya ketika sudah membeli tiket terlebih dahulu di mesin tiket untuk tujuan tertentu, namun ternyata kita mau menuju tempat yang lebih jauh lagi, kita bisa membayar kelebihan jarak di stasiun tujuan lewat mesin fare adjustment. Kita tinggal memasukkan tiketnya, kemudian mesin tersebut akan menghitung berapa ongkos yang kita ‘hutang’, dan tinggal bayar. Baru kita bisa keluar dari stasiun, kemudian dari sini kami menaiki bus menuju tempat mas Aisar.

Bus di sini benar berbeda dari ada yang di Jakarta, bukan saja masalah harus berhenti di tempat yang sudah diharuskan, tapi juga posisi tempat duduknya yang berbeda. Anda tidak akan menemukan kondektur di sini, setiap penumpang harus bayar terlebih dahulu di awal pada mesin yang ada di samping supir bus. Untuk berhenti di tempat pemberhentian selanjutnya, kita cukup menekan tombol yang ada di samping tempat duduk. Setelah berhenti di tempat tujuan, kami berjalan sebentar menuju losmen mas Aisar.




Presentation again !?

Beristirahat sebentar di tempat mas Aisar, kami mendapat kabar, bahwa saya dan Lestian dijadwalkan presentasi lagi, namun kali ini di depan peserta lainnya di auditorium Tokyo Institute of Technology. Diawali dengan makan pagi dulu di salah satu restoran cepat saji, kami kembali menaiki kereta menuju Ookayama. Sesampainya di sana, kami mengikuti terlebih dahulu plenary session dengan pembicara Dr. Khairul Anwar dan salah seorang pembicara dari ITB. Sebuah pesan menarik dari Dr. Khairul Anwar, bahwa bagaimana, kita mahasiswa khususnya di Indonesia, bisa berpikiran terbuka dan tidak terkungkung hanya pada ruang kelas semata, beliau berucap, “think what you get from your 4 years; think whether your thesis can change the world, and corporate with others”. Bahwa memang orang-orang besar berpikir besar, melihat jauh ke depan, melangkah keluar dari zonanya, to think out of the box, di luar sekitarnya.

Break, dan kami akan presentasi setelah break makan dan sholat. Kali ini diawali oleh Lestian terlebih dahulu baru setelah itu saya. Maju dengan rasa percaya diri, itu adalah modal awal, karena bagaimana bisa menang jika sudah kalah lebih dahulu di luar arena. Di depan podium, saya tatap lurus-lurus audiens yang hadir, dan mulai mempresentasikan proposal saya. Walaupun kadang tersendat, namun saya tetap melaju hingga akhir slide. Sesi tanya jawab pun saya hadapi, dengan beberapa pertanyaan dari audiens, to think that I can speak in front of these people, bagi saya hal ini adalah sebuah langkah awal untuk maju, bergerak, berjuang mencapai cita. Struggle will be never end guys, karena kita memiliki visi besar, ini bukan tentang pencapaian diri sendiri, ini tentang membangun masyarakat, juga peradaban.




Wups, dan dilanjutkan dengan special session mengenai Tsunami, menghadirkan Prof. Takaki Naoyuki –jika saya tidak salah lihat di jadwal- berbicara mengenai kondisi di Fukushima, dan Dr. Dinar, berbicara mengenai assessment bencana tsunami. Setelahnya ada workshop dari FLP Jepang, mengenai penulisan. Ada juga bedah buku La Tahzan for Student, buku yang menarik, terutama bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di Jepang, karena berisi mengenai cerita perjuangan para mahasiswa Indonesia yang berjuang di bumi sakura ini. Selanjutnya ada bang Shofwan, yang berbicara mengenai menulis, sebelum menulis itu dilarang.


Waaa,dan saya bertemu kembali rekan seperjuangan di Farmasi dahulu, Ancha. Lama tidak melihatnya, tidak banyak berubah, mukanya masih mirip dengan Eros Sheila on 7, namun hanya rambutnya saja yang gondrong. Berbicara banyak, ngalor ngidur, lumayan mengobati kerinduan, halah. Acara pun berakhir, begitupula rangkaian tiga hari acara AMSTECS 2011 ini.




Ikan-ikan mentah

Kami berdiskusi untuk rencana keliling Tokyo esok hari dengan sesama peserta dari Indonesia. Kata sepakat diucapkan dan kami akan berkumpul di depan stasiun Shibuya besok, tepatnya di pintu gerbang Hachiko. Malam ini, saya dan beberapa kawan dari ITB, Lestian, Syafiq dan Anton, berencana mencari warung sushi yang murah meriah. Sayang sekali Ancha tidak bisa ikut karena pukul 22.00 harus sudah kembali ke asramanya.

Berangkat dari stasiun Ookayama, kami menuju Jiyagaoka. Setelah sempat berputar-putar sebentar, kami akhirnya menemukan warung yang dimaksud. Mengambil menu yang seharga 136 yen sepiring, berisi dua potong sushi. Enak, benar-benar enak, saya menghabiskan tiga porsi piring sushi dengan jenis ikan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, saya agak tidak menyukai rasa wasabi1, dengan sensasi menggigit lidah.

Perut sudah cukup kenyang dan saya kembali pulang ke Hotel. Istirahat untuk perjalanan seru esok harinya, a Tokyo trip.





Catatan-catatan:
1) Wasabi, Eutrema japonica, merupakan tanaman asli khas Jepang, yang berasal dari suku kubi-kubisan. Wasabi memiliki rasa yang menyengat dan biasa dimakan bersama irisan ikan segar.



Read More..

Steps in Tokyo #2 : Fullday

“All the world is a laboratory to the inquiring mind.” (Martin H. Fischer)

11 Juni 2011
Subuh dimulai pukul 02.30, dan memang pagi sekali karena pukul 05.00 saja matahari sudah berjaya menerangi jalan-jalan di Tokyo. Namun aktivitas di sini nampaknya baru dimulai sekitar pukul 07.30, dan saya memulai hari dengan sarapan nasi dan telur orek, tidak berani menyentuh daging karena berasal dari daging babi. Jadwal acara hari ini dipenuhi oleh parallel session pada beberapa kelas dengan tema yang berbeda-beda. Dengan melihat jadwal yang diberikan oleh panitia sebelumnya, maka saya beranjak menuju kelas dengan tema medicine and medicinal science. Datang terlambat, dan hanya sempat mendengarkan sedikit presentasi tentang infusi dari biji srikaya sebagai antivirus influenza. Bahasan yang menarik, namun sayang tidak mengikuti dari awal, semoga bisa dilihat di proceedings acara ini. Presentasi selanjutnya agak tidak nyambung dari tema kelas ini, yaitu mengenai materi komposit yang dipakai pada badan pesawat. I don’t really get it, but after all saya menangkap konsep menarik bahwa ketika kita menemukan perulangan dari suatu polimer atau yang sejenisnya maka kita bisa mengkarakterisasi seluruh bagiannya cukup dengan satu bagian saja dengan asumsi bahwa bagian-bagian penyusun bahan tersebut adalah serupa.

Berlanjut ke plenary session dengan MC bang Ikono, ah ya, saya baru pertama kali bertemu dengan beliau, setelah sebelumnya hanya sempat berinteraksi lewat facebook atau twitter. Moderator hari ini adalah mas Fithra dengan menghadirkan 4 pembicara. Pembicara pertama adalah Rektor ITB, Prof. Akhmaloka, yang berbicara mengenai ITB dalam mewujudkan konsep world class university berkebangsaan. Kemudian ada Pak Nurdin Sobari dari Fakultas Ekonomi UI, Bu Niken dari RRI dan Pak Andika Fajar dari Kementerian Ristek. Sesi ini diakhiri dengan penandatanganan MoU antara pihak PPI Jepang dengan RRI mengenai kerja sama penyiaran berita-berita dari Jepang. Dan kemudian kita makan.




Acara kembali dimulai dengan plenary session yand dipandu oleh Dr. Chairul Anwar, dengan menghadirkan dua pembicara yaitu Gubernur Bangka Belitong dan Dr. Djoko dari PLN. Masing-masing berbicara dengan tema besar nuclear power plant, dan bagaimana posisinya di tanah air tercinta ini. Setelah itu break sholat dan acara dilanjutkan dengan parallel session kembali. Kembali saya menuju kelas medicinal and medicine science dan food and biology. Presentasi menarik dengan pembahasan yang beragam dari beberapa participants, mba Sara wardhani, bang Ikono, Toni, dan beberapa lagi yang saya lupa, tenang saja karena bisa dilihat di proceedings-nya, hehe... Parallel session ini berlangsung hingga maghrib dan acara kemali diakhiri dengan bento.
Sebelum pulang, saya sempatkan dahulu untuk berdiskusi dengan mba Sara, yang ternyata adalah alumni Farmasi UI angkatan 2000, saat ini sedang studi S3 nya di University of Tokyo. Cukup panjang diskusi mulai dari presentasi ilmiah hingga karakter para mahasiswa di Indonesia. Ya, beliau berkata bahwa selama ini kita yang mengandalkan diktat untuk mendapatkan nilai, akan kesulitan nantinya jika akan melanjutkan belajar ke negeri orang. Bahwa, kita seharusnya terbuka dan tidak terkungkung pada dunia kelas saja, beliau bahkan bersedia diajak diskusi oleh mahasiswa farmasi UI mengenai farmakologi dan fitokimia. Beliau menyarankan saya untuk bisa membentuk kelompok studi agar bisa meng-update ilmu kita. Dan saya sampaikan ucapan terima kasih, serta berjanji akan mengontak beliau selanjutnya. Perbincangan ternyata berakhir cukup lama yang mengakibatkan dua orang teman saya lama menunggu. Gomennasai guys.

Malam ini syafiq berencana menginap di hotel kami, karena keesokan harinya kita akan berkunjung ke rumah mas Aisar di Yokohama. Pada awalnya hendak mencari makan di luar malam ini, namun sepertinya rasa lelah cukup menyergap kami sehingga langsung saja menuju tempat tidur di kamar hotel.


Read More..

Steps in Tokyo #1: Tapak pertama di Bumi Sakura

“If we’re growing, we’re always going to be out of comfort zone” (John Maxwell)

10 Juni 2011
Narita, here we comes. Tujuh jam kurang lebih saya beradadi udara dengan menaiki pesawat Garuda GA884 tujuan Tokyo. Setelah sebelumnya bertemu dengan salah satu dari dua yang diundang ke Tokyo, Lestian, tepat saat check in pesawat. Jika anda menemukan seorang pemuda sendirian, seumuran mahasiswa dan menaiki pesawat yang sama maka anda akan mudah menyimpulkan bahwa pemuda tersebut adalah teman setujuan. Dan benar saja, ketika akan memasuki pesawat, kami menemukan satu lagi mahasiswa yang menjadi peserta AMSTECS, mahasiswa UI berasal dari Palembang bernama Surya.

Bandara Narita, berlokasi di Narita, merupakan salah satu dari dua bandara utama di Jepang, selain bandara Haneda. Bandara Narita memiliki dua terminal yang dihubungkan dengan shuttle bus dan kereta. Penerbangan Garuda kami mendarat di terminal dua kurang lebih pukul 09.00 waktu Tokyo. Penumpang tidak langsung masuk ke main building (honkan) bandara Narita, namun masuk ke satellite building terlebih dahulu. Kedua bangunan dihubungkan oleh terminal 2 shuttle system, berupa kereta monorel tanpa masinis. Terlihat pada dinding kereta terdapat tulisan yang berisi permohonan maaf mengenai lampu di dalam kereta karena adanya penghematan listrik. Hal ini memang terjadi setelah bencana di Fukushima. Kehilangan reaktor nuklir tentu mengakibatkan berkurangnya pasokan energi bagi Jepang, mengingat negara ini tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Setelah melalui proses disembarkasi, kami disambut oleh dua mas-mas panitia, yaitu mas Fithra dan mas Aisar. Bersama dengan rombongan dari RRI Jakarta, kami berangkat dengan menaiki Airport Limousine Bus dengan fare sebesar 3000 yen menuju Hotel Prince Park Tower Tokyo. Meskipun harus membayar sendiri dahulu, uang kami diganti setelahnya. Selama perjalanan, memang terlihat perbedaan mencolok dengan jalan di Ibu Kota Indonesia. Jalan lengang dan tak banyak mobil dengan pemandangan menarik di sisi kiri dan kanan. Satu hal lagi yang saya perhatikan adalah saya tidak menemukan motor di Jalanan Tokyo. Kalaupun ada, hanya sedikit motor matic yang lalu lalang atau motor gede sekalian. Sekelas motor-motor bebek di Indonesia, anda akan putus asa mencarinya. Sampai di Hotel Prince Park Tower Tokyo kami menaiki taksi menuju tempat penginapan kami yang sebenarnya di Hotel Asia Center Japan,daerah Roppongi. Hal yang menarik bahwa taksi di Jepang dilengkapi dengan GPS, berupa peta digital dan juga dilengkapi dengan semacam buku penunjuk jalan sebagai senjata penjawab tujuan penumpang oleh para supir taksi. Taksi di sana cukup mahal karena ongkos awalnya saja sudah sebesar kurang lebih 710 yen.





Such a Sudden Presentation

Tiba di hotel, langsung saja saya rebahkan badan ini di kasur empuk hotel. Namun, tidak bisa berlama-lama karena pukul 14.00, kami harus berangkat lagi ke lokasi acara di GRIPS (National Graduate Institute for Policy Studies). Setelah rapi-rapi hingga pukul 14.30, dan ternyata kami tertinggal dari rombongan RRI yang kebetulan menginap pada hotel yang sama. Beruntung, ada mas Aisar yang datang dan mentraktir kami bento1 yang dibeli di FamilyMart2.

Kurang lebih 5-10 menit berjalan dari Hotel, kami tiba di TKP, yang bersebelahan dengan National Art Museum. Langsung menuju meja registrasi dan saya tidak menemukan nama saya di daftar participant. Masya Allah, malah saya menemukan nama saya berada di list invited speaker. Memang status saya dan Lestian adalah undangan karena berhasil sebagai dua besar SINNOVA, namun tidak menyangka saja menjadi masuk dalam list invited speaker. Memasuki hall utama GRIPS, tengah berlangsung plenary session dengan pemateri dari seorang professor asal India, Prof. Dr. Govindan Parayil, dan Prof. Dr. Sunami Atsushi, associate professor dari GRIPS yang masing-masing berbicara dengan tema besar sistem inovasi.

Di tengah presentasi berlangsung, tiba-tiba seorang panitia, mas Abdurrohman, memberitahu kami untuk bersiap presentasi proposal penelitian kami di depan reviewer di tempat yang berbeda. Jreeeng, waw, langsung saja saudara-saudara, tanpa berpikir macam-macam, dengan persiapan singkat, saya, the lucky number one, menuju ruangan yang digunakan penilaian presentasi proposal SINNOVA kami. Presentasi singkat di depan tiga reviewer yang ternyata dari Indonesia, mengingatkan kembali pada seminar hasil penelitian 4 hari sebelumnya. Bermodalkan bahasa Inggris yang cukup pas-pasan, terabas saja semua tantangan yang ada. Bismillah, Allah bersama orang-orang yang sabar.

Indonesia Culture Night

Mengangkat tema “with love for Japan”, acara malam ini diisi dengan persembahan seni budaya Indonesia dan juga sebagai ajang charity untuk korban bencana tsunami kemarin. Diawali dengan tarian Bali, dibawakan dengan anggun oleh mahasiswa asal Indonesia yang studi di Jepang. Kemudian dilanjutkan lagu, Mahadewi dan Kuyakin Cinta sebagai pemanasan awal acara berikutnya. Kemudian ada pertunjukan Tari Piring yang dibawakan oleh mahasiswa asal Indonesia dan pertunjukan pencak silat yang menariknya, tidak hanya dibawakan oleh orang Indonesia, tetapi juga orang asing yang ikut belajar pencak silat. Acara akhirnya ditutup dengan sesi foto bersama peserta yang hadir saat itu.
[foto-foto]
Begitulah, dan hari pertama diakhiri dengan santapan malam, berupa bento. Oh iya, hari pertama ini saya berkenalan dengan anak-anak ITB, yaitu syafiq, surani, dan ega, hopefully I can meet you again guys. Dan berjalan lagi di sepanjang Tokyo Midtown, menuju Hotel.





Catatan-catatan:
1. Bento merupakan semacam nasi kotak di Indonesia. Biasanya bento berisi nasi, ikan atau daging, dan beberapa potong sayuran.
2. FamilyMart merupakan supermarket franchise yang ada di Jepang, dan termasuk tiga besar toko franchise yang ada di Jepang, selain 7-Eleven, dan Lawson. FamilyMart biasa disebut ‘Famima’ atau ‘Famirimato’ oleh orang Jepang.



Read More..

Sabtu, 18 Juni 2011

Steps in Tokyo #0: SebelumMuka


“Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari” (Hasan Al Banna)

Berapa kenyataan sains hari ini ternyata berawal dari imajinasi para penemunya. Anda tahu ponsel hari ini berawal dari sebuah film yang menciptakan versi imajinasi telepon tanpa kabel dan bisa dibawa kemanapun. Kita juga mengenal Wright bersaudara, di masanya benda non burung sudah tervonis tidak akan pernah bisa terbang. Meskipun demikian, duo bersaudara tersebut tetap bermimpi besar, dan kita selanjutnya melihat bagaimana seorang tukang sepeda menjadi penerbang pertama.

Ini adalah salah satu catatan perjalanan saya, tidak terlalu istimewa, namun saya senang saja menuliskannya. Mungkin akan ada ilmu yang bisa diambil, ada hikmah yang bisa digali. Bagaimanapun juga benar perkataan Ali bin Ab Thalib, “Ikatlah ilmu dengan menulis”. Dan peradaban besar selalu dimulai dari kultur menulis para pembangunnya, karena dengannya peradaban besar tetap terjaga, juga terwariskan ke generasi selanjutnya.

Saya pun memiliki mimpi untuk merantau ke negeri orang, mengenal berbagai macam kultur, mengambil jalan-jalan yang belum pernah ditapaki sebelumnya. Well, catatan ini dan beberapa seri ke depannya, bukan tentang kisah saya merantau ke negeri orang, belum, hal tersebut belum tercapai. Tetapi kisah ini menjadi catatan berharga dalam kehidupan, bahwa sekecil apapun langkah kita, tetaplah melangkah maju karena setiap perjalanan panjang selalu dimulai dari sebuah langkah.

Cerita di awal mula

Jujur saja, sebenarnya saya tidak tertarik dengan kompetisi itu, call for proposal Student Innovation Award (SINNOVA)1, karena tidak menjanjikan hibah penelitian bagi para pemenangnya. Tetapi, setelah diajak oleh teman, saya pun akhirnya tetap mengirimkan proposal riset saya.

Jeng, jeng, jeng.. Setelah satu bulan berlalu dan pengumuman 50 proposal terbaik pun muncul. Saat itu sedang mengecek wall di facebook, “selamat ya gam, menang di SINNOVA”. Langsung saja, tanpa basa-basi, kursor mengarah membuka situs SINNOVA, dan jeng, jeng, jeng, memang ada nama saya di antara dua besar. Allahu akbar adalah kata pertama yang terucap. Namun, kemudian sayang sekali, kita semua berduka, bencana itu melanda Jepang. Keberangkatan pun diundur hingga dua bulan. Tidak mengapa, karena fokus kita adalah penelitian tugas akhir.

Dan begitulah, saya diundang untuk presentasi di Jepang pada acara AMSTECS (Annual Meeting for Science and Technology Studies)2 2011. Pengalaman menarik dan semoga diberkahi Allah swt. Aamiin


Catatan-catatan:

1) SINNOVA merupakan bagian dari acara AMSTECS yang bertujuan untuk mengumpulkan proposal-porposal riset terbaik dari mahasiswa-mahasiswa undergraduate di Indonesia, selanjutnya dinilai menjadi 50 proposal terbaik. Dua proposal riset terbaik diundang ke acara AMSTECS untuk dipresentasikan pada acara tersebut.

2) AMSTECS merupakan acara tahunan yang diadakan oleh PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Jepang pada bidang sains dan teknologi.




Read More..